Pages

Subscribe:
Powered By Blogger

Rabu, 09 Mei 2012

Kerawanan Sosial


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri Negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Kaum urban dari kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota yang belum memiliki fasilitas ruang kota, agar lebih murah.
Perkembangan  masyarakat menyangkut berbagai bidang kehidupan yaitu agama, ekonomi, infrastruktur, hukum, budaya, politik dan sebagainya. Namun, perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan masih membahayakan ketahanan suatu wilayah. Ini disebabkan oleh suatu tindakan-tindakan yang ditimbulkan oleh perilaku masyarakat yang menyimpang dari segi hukum maupun agama. Agama merupakan aspek kehidupan di dalam masyarakat yang sangat penting. Dengan beragama, seseorang dapat memiliki tuntunan maupun pedoman kea rah kehidupan yang lebih baik lagi. Namun agama juga tidak dapat menjamin kerukunan umat selalu terjamin. Di sana-sini masih banyak tindak criminal yang berkedok atas kepercayaan yang dianut tersebut. Dalam hal ini, toleransi antar umat beragama atau sikap saling menghormati antar pemeluk agama masih belum berjalan dengan selaras.
Salah satu satu contonya yaitu yang terjadi di Kota jember,  di sini masih terjadi permasalahan yang menyangkut tempat peribadatan. Hal semacam ini dapat mengancam ketahanan wilayah setempat, karena dapat menimbulkan konflik yang mendalam antar umat beragama tersebut.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan memberikan suatu contoh kasus yang dapat mengancam ketahanan wilayah yang diakibatkan perbedaan keyakinan beragama serta memberikan strategi penanggulangannya.



1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, dapat dibuat  suatu permasalan sebagai berikut :
1.   Apakah yang dimaksud dengan kerawanan sosial ?
2.   Apakah yang dimaksud dengan ketahanan nasional ?
3.   Dampak apakah yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dalam segi agama ?
4.   Bagaimanakah strategi penanggulangan kerawanan sosial ?

1.3  Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dalam pembuatan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.   Mengetahui tentang pengertian dari kerawaan sosial.
2.   Memperoleh pengetahuan tentang ketahanan nasional.
3.   Mengatahui akibat yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dari segi agama.
4.   Mengetahui cara mencegah atau menanggulangi permasalahan kerawanan sosial.










II.    PEMBAHASAN
2.1 Kerawanan Sosial
Kerawanan Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat/kelompok golongan tersebut. Ketidakpuasan ini masih dalam eskalasi aman sehingga hanya diperlukan tindakan pencegahan. Ketidak puasan pemecahan masalah dari yang tidak tepat dicegah akan memicu keresahan, demonstrasi/anarkis ataupun separatisme.
Kerawanan Sosial dapat terbentuk dalam berbagai macam seperti kerawanan ekonomi, politik, sosial budaya, ideologi, hankam dan hukum. Bangsa Indonesia sejak tahun 1945, masa orde lama maupun dimasa orde baru, keduanya memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, sehingga presidenlah yang berperan. Sejak tahun 1998 keruntuhan Soeharto mengakibatkan terjadinya reformasi di segala bidang. Reformasi tersebut disertai dengan isu berkembangnya Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, otonomi daerah dan lingkungan hidup. Pengertian HAM dan demokratisasi banyak disalah artikan bangsa Indonesia, sehingga mereka mengekspresikan dirinya secara berlebihan, dan menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Konflik antar suku, kelompok agama serta antar perusahaan industri dengan lingkungan masyarakat.
Kondisi sosial budaya bangsa Indonesia saat ini mengalami stagnasi di bidang nilai-nilai etika sosial dan budaya sehingga menimbulkan beberapa kasus kerawanan sosial seperti kasus sara di Sampit, Situbondo, Ujung Pandang, Solo, Kupang dan Waringin. Kondisi ekonomi sejak terjadinya krisis 1997 belum banyak berubah. Berbagai kasus kerawanan sosial yang terjadi dipicu oleh potensi kesenjangan ekonomi seperti konflik pekerja dengan pengusaha telah muncul antara lain kasus ganti rugi lahan Kedung Ombo, lahan sejuta hektar, kasus unjuk rasa pekerja PT. Maspion, PT.Kayu Mas, masyarakat penambang emas di Kereng Pangi Kalteng dan kasus Sampit telah menimbulkan fluktuasi dolar terhadap rupiah. Tidak berjalannya roda perekonomian juga dapat menyebabkan hilangnya modal yang ditanam investor asing.
Hubungan antar umat beragama masih sangat rentan terhadap konflik, sebab masih terdapat kelompok masyarakat yang mengartikan agama secara sempit dan juga tingkat pendidikan yang masih sangat rendah sehingga kemampuan penalaran rendah dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis. Rasa keadilan kurang terpenuhi sehingga menimbulkan ide separatis yang bercirikan kedaerahan, yang bertujuan ingin memisahkan diri dari NKRI[1].

2.2  Ketahanan Nasional
1.   Ketahanan Nasional  sebagai suatu penggambaran atas keadaan yang seharusnya dipenuhi. Keadaan atau kondisi ideal demikian memungkinkan suatu negara memiliki kemampuan mengembangkan kekuatan wilayah sehingga mampu menghadapi segala macam ancaman dan gangguan bagi kelangsungan hidup   masyarakat yang bersangkutan
2.   Ketahanan Nasional sebagai pendekatan/metode/cara menjalankan suatu kegiatan khususnya pembangunan nasional. Sebagai suatu pendekatan, ketahanan nasional menggambarkan pendekatan yang integaral. Integral dalam arti pendekatan yang mencerminkan antara segala aspek/ isi, baik pada saat membangun maupu pemecahan masalah kehidupan. Dalam hal pemikiran , pendekatn ini menggunakan pemikiran kesisteman.
3.   Jadi dapat dimaknai bahwa Ketahanan nasional adalah kondisi  dinamis yang merupakan  integrasi dari setiap aspek kehidupan  masyarakat berbangsa dan brnegara. Pada hakikatnya ketahanan nasional  adalah kemampuan  dan ketangguhan suatu wilayah Negara  untuk dapat menjamin  kelangsungan hidup  bermasyarakat yang sejahtera. Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan  ketahanan nasional. Selanjutnya ketahanan nasional  yang tangguh akan mendorong pembangunan.[2]

2.3  Dampak kerawanan Sosial dari Segi Agama
Kerawanan sosial bisa muncul dari berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, seperti bidang ekonomi, hukum, budaya, hiburan, olahraga maupun bidang agama. Agama seharusnya mampu menjadi benteng untuk menyatukan perbedaan yang ada maupun mencegah tindakan yang dapat mengundang timbulnya masalah dalam masyarakat. Dalam makalah ini akan memberikan contoh kerawanan sosial yang ditimbulkan oleh kerusuhan umat beragama yang dapat mengancam ketahanan nasional.
Salah satu contohnya yaitu yang terdapat dalam artikel Berita Nasional yang menyebutkan terjadi pertikaian yang awalnya bermula dari 2 orang berbeda keyakinan beragama dan meluas kepada kelompok besar masing-masing agama tersebut, selengkapnya tersebut dalam artikel di bawah ini[3]:
Kerusuhan Ambon Sebagai Implikasi Melemahnya Budaya Lokal.
Kerusuhan Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah mengakibatkan kerugian yang tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor pemicunya juga sangat fundamental, serta meliputi banyak variabel (complicated).
Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam. Si pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari Belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju Mardika guna memberi membantu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer ke arah barat Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa Bali, Jalan Baru, dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang beragama Kristen, dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh Orang Kristen. Saat itu, terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua kelompok masyarakat ini, dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah rumah penduduk dan 1 (satu) buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999 itu. Dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale, serta gereja di Silale, mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok agama di berbagai sudut jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang rumah dan tempat ibadah di berbagai tempat.
Pada tanggal 19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga lima desa Islam di Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan Morela, mulai melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen yang berasal dari Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field Marine Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6 (enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan warga Buton di petuanan desa Seith.
Tanggal 20 Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan membakar rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga Desa Hila Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan Kaitetu yang beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun warga Buton disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa ini kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan kaki, yang disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di lokasi-lokasi; Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian Patah, Desa Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam perjalanan panjang aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima warga desa tersebut terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati beberapa pos dan barak militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat keamanan setempat, kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air Besar, Desa Passo. Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh empat) warga beragama Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta wanita dan seorang pendeta laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah gereja, maupun harta benda lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian dan pembakaran serta penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa Islam ini, ialah adanya informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi representasi identitas umat Muslim di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh Orang Kristen.
Informasi mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas pemukiman-pemukiman Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini, mengakibatkan sentimen dan solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di Kota Ambon dan sekitarnya tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak terkendali sebagai reaksi atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah penyerangan dalam bentuk pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di pemukiman-pemukiman Islam maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam kerusuhan antar kelompok masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat keamanan yang ada, tidak sama sekali berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya, malahan menurut penilaian kedua kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam kerusuhan ini, aparat keamanan bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan puluhan warga sipil yang meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan, dan seorang aparat anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung Pandang dan tiba di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di Benteng.
Kerusuhan yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, yaitu di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi). Kerusuhan yang terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran rumah penduduk dan tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan Kristen.
Kerusuhan sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian berlanjut lagi pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari beberapa Desa Islam di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama Kristen, mengakibatkan puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan ratusan rumah penduduk serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan di Kariu ini berdampak pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi penyerangan pada beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan puluhan rumah penduduk terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan meninggal dunia.
Tanggal 23 - 25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali terjadi di Batu Merah Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah penduduk Kristen oleh massa Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung Galunggung serta Dusun Rinjani. Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka dan meninggal dunia terkena tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional, serta puluhan rumah terbakar.
Tanggal 1 Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di Dusun Ahoru dan Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari kedua kelompok agama yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan ini, terdapat sejumlah orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah penduduk terbakar. Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga Muslim yang sedang sholat subuh diserang dan ditembak di dalam mesjid. Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh beberapa tokoh Islam lainnya dalam rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa hari ekspose berita dilakukan secara tendensius oleh berbagai media massa nasional baik elektronik maupun cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas Islam secara nasional dengan tujuan ber-jihad di Ambon.
Kerusuhan masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun yang meninggal.
Disamping garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan di atas, sebetulnya terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara berkelompok oleh massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau diparang) orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen Fakultas Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam. Hal yang sama terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang Kristen.
Saat ini tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat keamanan, bahkan telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari warga perkampungan atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung proses rekonsiliasi yang terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan hidup bagi warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya, diperkirakan paling tidak periode "mengatasi kerusuhan" oleh aparat keamanan ini akan membutuhkan waktu kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan, sebelum memasuki tahap "pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial" dalam kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.
2.4 Strategi Penanggulangan Kerawanan Sosial
      Untuk menuju suasana yang kondusif dalam kehidupan masyarakat harus ada keberanian dari lembaga penegak hukum untuk bekerja secara independen dan profesional tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Dari Perkembangan lingkungan strategis, dapat diantisipasi beberapa peluang antara lain sebagai berikut[4]:

• Kerjasama ASEAN di bidang ekonomi.
• Posisi geografi merupakan peluang untuk menjalin hubungan antar bangsa.
• Jumlah penduduk merupakan asset pembangunan dan sumber kekuatan.
• Kekayaan alam sebagai modal dasar pembangunan.
• Tuntutan kehidupan yang egaliter, transparan, demokratis, perlindungan hukum dan HAM dapat meningkatkan harkat serta martabat bangsa.
Selain peluang, ada beberapa kendala yang dirasakan, yaitu ancaman yang datang dari luar negeri berupa bentuk tekanan multi dimensi dari bentuk tekanan politik, ekonomi sampai dengan tekanan militer serta ancaman yang berasal dari dalam negeri berupa ancaman antara lain kesenjangan sosial ekonomi, eksplotasi Sumber Daya Alam (SDA) tanpa memperhatikan lingkungan pluralistik, lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-LSM), ancaman pemberontakan bersenjata yang bersifat separatisme seperti bahaya laten komunis. Dari dampak Krisis Multidimensi kondisi sosial masyarakat Indonesia yang dipengaruhi lingkungan strategis, perlu dianalisis berbagai krisis yang ada seperti antara lain[5]:
a)   Krisis Idiologi. Salah satunya adalah kekecewaan rakyat Aceh selama Orde Baru mengeluarkan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Peme-rintahan Derah, sekaligus mencabut UU No. 18/1965 yang dipahami masyarakat Aceh sebagai pencabutan Aceh dari daerah Istimewa. Dalam penyelesaian krisis Aceh tidak dapat mengambil risiko sekecil apapun terhadap tetap tegaknya NKRI dan berkibarnya Sang Merah Putih di setiap pelosok tanah air Indonesia.
b)   Krisis Politik suatu fakta pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie tentang kebijakan opsi merdeka yang diberikan kepada rakyat Timor-Timur lepas dari NKRI, yang akhirnya MPR memberikan mosi tidak percaya kepada Presiden BJ. Habibie. Krisis politik masa pemerintahan Presiden Gus Dur dimana tidak diakuinya Dekrit Presiden, serta krisis politik di tingkat pusat yang berakibat jatuh bangunnya suatu pemerintah.
c)   Krisis Ekonomi. Negara Indonesia merupakan negara maritim, masyarakat miskin umumnya di pedesaan dan pantai. Perencanaan pem- bangunan sejak Pelita I dan selanjutnya ditujukan untuk kepentingaan rakyat / semua masyarakat Indonesia, namun kenyataanya yang lebih maju pesat ternyata masyarakat industri dan pengusaha, sehingga lahirlah masyarakat pengusaha yang banyak menjadi konglomerat dan akhirnya menguasai ekonomi Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial.
d)  Krisis Sosial Budaya. Bangsa Indonesia perlu me-renung kembali sejarah budaya bangsa sejak zaman dulu. Ancaman disintegrasi bangsa disebabkan gagalnya penye-lenggaraan di bidang pendidik-an non fisik yaitu nilai-nilai Sumpah Pemuda dan motto bangsa Bhineka Tunggal Ika yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa dan hal ini perlu peningkatan proses education building, sebab dari dunia pendidikanlah akan lahir para intelektual dan pemimpin bangsa. Nilai-nilai budaya harus ditanamkan dan diso-sialisasikan kepada seluruh warga negara Indonesia.
e)   Krisis Hankam. Pemisahan antara fungsi TNI dan Polri sebagai pengemban Perta-hanan dan Keamanan menurut Tap MPR No. VI dan VII/MPR/1999, perlu dianalisis kembali, karena TNI ber-fungsi menahan ancaman dari luar negeri, sedangkan Polri mengamankan keadaan dalam negeri. Dalam kondisi sekaang, justru yang menjadi problem maker adalah bangsa Indonesia sendiri, sehingga TNI dan Polri tetap tidak dapat dipisahkan fungsinya, dan hal itu perlu dianalisis kembali.
f)    Krisis Hukum. Bergulirnya reformasi, masyarakat me-nuntut supremasi hukum, karena selama ini masyarakat Indonesia merasa tidak men-dapatkan keadilan baik dari aparat hukum (keadilan dis-tributif), keadilan diri sendiri (keadilan legal) dan keadilan dari masyarakat (keadilan komutatif). Krisis di bidang hukum seperti pencuri lang-sung dibakar / dipukuli oleh massa sampai mati, ini disebabkan karena aparat hukum terlambat dalam me-ngambil suatu tindakan.
Setelah mencermati uraian mengenai kondisi sosial masyarakat Indonesia serta menganalisis berbagai krisis, maka konsep upaya penanggulangan Kerawanan Sosial Secara Terpadu antara lain [6]:

Kebijakan dan Upaya Penanggulangan
Ø Tidak mengambil resiko sekecil apapun yang dapat mengancam NKRI (penye-lesaian kerawanan sosial yang berkembang menjadi krisis).
Ø Penyelesaian kerawanan sosial dan krisis dengan tegas & proposional, semata-mata hanya untuk kepenting-an nasional, bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD ’45.
Ø Untuk menyelesaikan kera-wanan sosial dan krisis yang bersifat nasional, keutuhan wilayah NKRI menjadi tujuan utama, tanpa meng-ambil resiko sekecil apapun.
Ø Untuk menyelesaikan kera-wanan sosial dan krisis nasional, tetap berkibarnya lambang negara Bendera Merah Putih di seluruh pelosok tanah air menjadi tumpuan utama.
Ø Dalam penyelesaian kerawanan sosial yang tidak mungkin penyelesaiannya secara normal, diperlukan keterpaduan dari semua aparat pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama menghadapi krisis tersebut.
Ø Strategi penanggulangan kerawanan sosial disesuaikan dengan eskalasi perkem-bangannya, misalnya kondisi aman, kondisi rawan, kondisi gawat darurat dan kondisi rehabilitasi.
Ø Upaya penanggulangan kerawanan sosial. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan, yaitu :Unsur Pelaksana (Dephan,TNI dan jajarannya, Polri dan jajarannya), unsur Pemda (Mawil Hansip, Tibum, Pemadam Kebakaran), Unsur Kejaksaan/Kejari, dan Unsur Masyarakat.
Sasaran Penanggulangan
ü Semua bentuk kerawanan sosial, bersifat multi dimensi yang dapat menimbulkan Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan (AGHT) terhadap stabilitas keamanan daerah atau wilayah NKRI.
ü Kerawanan sosial yang ditimbulkan oleh bencana alam, akibat perang dan pengungsian akibat konflik.
ü Metoda Penanggulangan Preemtif, Preventif, Represif, Operasi, penindakan terhadap separatis Bersenjata.
ü Mekanisme Penanggulangan.














III. PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Dari hasil pembahasan yang di dapat dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kerawanan Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat/kelompok golongan tersebut.
2.      Ketahanan nasional adalah kondisi  dinamis yang merupakan  integrasi dari setiap aspek kehidupan  masyarakat. Pada hakikatnya ketahanan nasional adalah kemampuan  dan ketangguhan suatu wilayah untuk dapat menjamin  kelangsungan hidup  bermasyarakat yang sejahtera.
3.      Dampak yang ditimbulkan dari aspek agama dapat mengancam ketahanan suatu wilayah tertentu. Ini akibat perpecahan yang terjadi akibat kurang sikap saling menghargai antar umat beragama.
4.      Upaya penanggulangan kerawanan sosial. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan, yaitu :Unsur Pelaksana (Dephan,TNI dan jajarannya, Polri dan jajarannya), unsur Pemda (Mawil Hansip, Tibum, Pemadam Kebakaran), Unsur Kejaksaan/Kejari, dan Unsur Masyarakat. Dalam konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan diri dan berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat yang hidup dan berkembang, mengingat realitas kebhinekaan bangsa dalam berbagai aspek kehidupannya. Memenuhi keinginan kelompok tertentu saja dan mengabaikan atau tanpa mempertimbangkan kondisi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, hanya akan menciptakan akumulasi masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, perlu ada konsistensi sikap dan perilaku aparat pemerintah dalam menterjemahkan makna filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam berbagai kebijakan pembangunan yang adil dan jujur.

I.    PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kerawanan sosial dan potensi konflik muncul karena dipicu ketidakpuasan masyarakat atas kondisi kehidupannya. Karena itu, prinsip kesetaraan dan keadilan wajib dijunjung untuk menyelesaikan konflik di seluruh Tanah Air.
"Slogan bangsa Bhinneka Tunggal Ika mestinya dijadikan sebagai spirit dalam menata kembali pola hubungan antarindividu dan antarkomunitas yang memiliki perbedaan identitas sosial budaya dengan tujuan sebagai proses saling belajar kebudayaan," kata Muhammad Marzuki dari Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah, pada lokakarya "Identifikasi Kerawanan Sosial dan Potensi Konflik" di Gadok, Bogor, Senin (2/7).
Pada lokakarya yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini, Muhammad Marzuki mencontohkan, kerusuhan dengan kekerasan yang terjadi di Poso, Morowali, Banggai Kepulauan, Maranata-Sidondo, Dolo, dan Kota Palu merupakan akibat atau produk ketidakpuasan atas kehidupan masyarakat sebagai akibat dari situasi sosial, ekonomi, dan budaya yang mereka hadapi.
Otonomi daerah merupakan jawaban terhadap akumulasi keterpurukan dan kekecewaan di zaman Orde Baru, yang merupakan sebuah kebijakan politik pemerintahan yang sangat drastis. Posisi pemerintah daerah jauh lebih kuat daripada masa pemerintahan sebelumnya meski tujuan sesungguhnya adalah untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan kepada segenap masyarakat yang ada di daerah.
Maka dari itu dalam makalah ini akan membahas salah satu contoh kerusuhan sosial dari segi agama pada daerah lokal.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, dapat dibuat  suatu permasalan sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan kerawanan sosial ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan ketahanan wilayahl ?
3.      Dampak apakah yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dalam segi agama ?

3.2  Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dalam pembuatan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.      Mengetahui tentang pengertian dari kerawaan sosial.
2.      Memperoleh pengetahuan tentang ketahanan wilayah.
3.      Mengatahui akibat yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dari segi agama.


IV. PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Kerawanan Sosial
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang penduduknya berjumlah sekitar 220.000.000 orang, 500 macam etnis, 17.508 kepulauan dan luas wilayah 5.800.000 kmserta letaknya yang strategis diantara negara di dunia, adalah rawan sosial sehingga perlu dicermati kondisi sosial masyarakat Indonesia yang dipengaruhi lingkungan yang strategis, menganalisis berbagai krisis seperti krisis ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan hukum, serta konsep upaya penanggulangan kerawanan sosial secara terpadu termasuk strategi penanggulangannya dalam rangka mendukung Pertahanan Nasional.
Kerawanan Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat/kelompok golongan tersebut. Ketidakpuasan ini masih dalam eskalasi aman sehingga hanya diperlukan tindakan pencegahan. Ketidakpuasan pemecahan masalah dari yang tidak tepat dicegah akan memicu keresahan, demonstrasi/anarkis ataupun separatisme.
Kerawanan Sosial dapat terbentuk dalam berbagai macam seperti kerawanan ekonomi, politik, sosial budaya, ideologi, hankam dan hukum.
Kondisi sosial  Bangsa Indonesia sejak tahun 1945, masa Orde lama maupun dimasa Orde Baru keduanya memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, sehingga presidenlah yang berperan. Sejak tahun 1998 keruntuhan Soeharto mengakibatkan terjadinya reformasi di segala bidang. Reformasi tersebut disertai dengan isu berkembangnya Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, otonomi daerah dan lingkungan hidup. Pengertian HAM dan demokratisasi banyak disalah-artikan bangsa Indonesia, sehingga mereka mengekspresikan dirinya secara berlebihan, dan menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Konflik antar suku, kelompok agama serta antar perusahaan industri dengan lingkungan masyarakat. Dalam reformasi di segala bidang, masyarakat telah banyak yang menyimpang dari makna kehidupan Pancasila. Sebagian kelompok masyarakat maupun kelompok politik masih mengusulkan Piagam Jakarta yang berisi “7 kata” untuk dimasukan kembali dalam pasal UUD 1945. Jadi ideologi Pancasila tetap mendapat tantangan dan menjadi sumber kerawanan sosial di masa mendatang. Kondisi politik saat ini memberikan peluang dan kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga mengesankan ajang demokrasi telah terbuka lebar. Permasalah-annya di sini adalah belum terciptanya dengan baik suatu mekanisme budaya demokrasi, dalam arti kata pemerintah belum menyiapkan perangkat kebijakan maupun perangkat hukum yang mengatur tata cara kehidupan berdemokrasi, sehingga timbul kesenjangan politik.
Kondisi sosial budaya bangsa Indonesia saat ini mengalami stagnasi di bidang nilai-nilai etika sosial dan budaya sehingga menimbulkan beberapa kasus kerawanan sosial seperti kasus sara di Sampit, Situbondo, Ujung Pandang, Solo, Kupang dan Waringin.
Kondisi ekonomi sejak terjadinya krisis 1997 belum banyak berubah. Berbagai kasus kerawanan sosial yang terjadi dipicu oleh potensi kesenjangan ekonomi seperti konflik pekerja dengan pengusaha telah muncul antara lain kasus ganti rugi lahan Kedung Ombo, lahan sejuta hektar, kasus unjuk rasa pekerja PT. Maspion, PT.Kayu Mas, masyarakat penambang emas di Kereng Pangi Kalteng dan kasus Sampit telah menimbulkan fluktuasi dolar terhadap rupiah. Tidak berjalannya roda perekonomian juga dapat menyebabkan hilangnya modal yang ditanam investor asing.
Kondisi Hankam. Ancaman kehidupan negara dan bangsa Indonesia berasal dari dalam negeri, seperti subversi dan pemberon-takan baik mental dan fisik tubuh masyarakat Indonesia. Ancaman dari luar negeri, seperti: infiltrasi dan subversi mental, fisik serta intervensi dari kekuatan imperalis dan kolonialis dalam segala bentuk dan manifestasinya (Ancaman GAM, OPM, konflik antar suku dan Organisasi Teroris Internasional).
Kondisi Hukum. Belum meme-nuhi rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh kasus KKN secara pembuktian memang sulit dan belum ada pembuktian se-cara terbalik (seseorang yang dituduh korupsi harus membuktikan asal usul dari seluruh asset harta bendanya yang diperoleh). Kerawanan sosial dapat pula timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman masyarakat tentang isu yang dihembuskan pihak Barat mengenai demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup. Masalah lain yang mempengaruhi penegakan hukum adalah intervensi pihak lain, yaitu kepentingan politik pemerintah dan kesadaran hukum masyarakat masih rendah.
Lingkungan Strategik  yang mempengaruhi baik dari dalam maupun luar negeri, perlu dicermati dan dianalisis sebagai sarana untuk mengetahui stra-tegi penanggulangannya secara terpadu. Masalah HAM menjadi isu global karena lebih banyak dilontarkan oleh negara Barat. Kemajuan industri Iptek tanpa dilandasi keinginan kuat untuk memelihara kelestarian ling-kungan hidup dapat meng-hasilkan ekses pencemaran yang lebih berat dan dikhawatirkan akan merusak ekosistem ter-masuk di dalamnya kelestarian eksistensi makhluk bumi.
2.2  Ketahanan Wilayah
2.2.1. Pengertian Ketahanan Wilayah
Ketahanan wilayah adalah suatu kondisi dinamis suatu wilayah yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan sosial dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik yang dating dari dalam maupun luar, secara langsung maupun tidak langsung yang mengancam dan membahayagan integritas, identitas, kelangsungan hidup wilayah tertentu serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan wilayah. Ketahanan wilayah diartikan sebagai kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan wilayah tertentu dapat berjalan dengan sukses. Oleh karena itu, diperlukan suatu konsepsi ketahanan nasional yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.[7]

2.2.2. Konsepsi Ketahanan Wilayah
Konsepsi pengembangan kekuatan wilayah melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan wawasan nusantara dengan kata lain konsepsi ketahanan wilayah merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan suatu wilayah yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan wilayah dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan suatu wilayah dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah, dan jasmaniah. Sedangkan keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasional terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam.
Ketahanan pada aspek politik diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan politik bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan suatu wilayah dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan kehidupan warga masyarakat di wilayah tersebut.
Ketahanan sosial adalah kondisi dinamis suatu wilayah yang meliputi segenap kehidupan masyarakat yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan wilayah dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup masyarakat dalam wilayah tersebut serta perjuangan mencapai tujuan Republik Indonesia dapat dijelaskan seperti dibawah ini :[8]
a. Ketangguhan
Adalah kekuatan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan, kuat menderita atau dapat menanggulangi beban yang dipikulnya.
b. Keuletan
Adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras dalam menggunakan kemampuan tersebut diatas untuk mencapai tujuan.
c. Identitas
Yaitu ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara keseluruhan. Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah dengan penduduk, sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran internasionalnya.
d. Integritas
Yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsur sosial maupun alamiah, baik bersifat potensional maupun fungsional.
e. Ancaman
Yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat mengubah atau merombak kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan secara konseptual, kriminal dan politis.
f. Hambatan dan gangguan
Adalah hal atau usaha yang berasal dari luar dan dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional.

2.2.3. Pokok-Pokok Pikiran Dasar Ketahanan Wilayah
Keuletan dan ketangguhan untuk mengembangkan ketahanan wilayah yang disebut ketahanan wilayah itu didasari pada pokok-pokok pikiran berikut:
a). Manusia Berbudaya.
Sebagai salah satu makhluk Tuhan, manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna karena memiliki naluri, kemampuan berpikir, akal dan berbagai keterampilan. Manusia senantiasa berjuang mempertahankan eksistensi, pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya serta berupaya memenuhi kebutuhan materil maupun spiritualnya. Karena itu manusia berbudaya akan selalu mengadakan hubungan;
a. Dengan Tuhan, disebut Agama.
b. Dengan cita-cita, disebut Ideologi.
c. Dengan kekuatan/kekuasaan, disebut Politik.
d. Dengan pemenuhan kebutuhan, disebut Ekonomi.
e. Dengan manusia, disebut Sosial.
f. Dengan pemanfaatan alam, disebut Ilmu Pengetahuan Teknologi, dan
g. Dengan rasa aman, disebut Pertahanan dan Keamanan.
b). Tujuan, Falsafah dan Ideologi.
Tujuan menjadi pokok pikiran dalam ketahanan nasional karena suatu organisasi; apa pun bentuknya, akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah internal dan eksternal dalam proses mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Demikian pula halnya dengan suatu wilayah dalam mencapai tujuannya. Karena itu, perlu ada kesiapan untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.
Falsafah dan ideologi juga menjadi pokok pikiran. Hal ini tampak dari makna falsafah dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut[9]:
a.  Alinea pertama menyebutkan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Maknanya: Kemerdekaan adalah hak asasi manusia.
b.  Alinea kedua menyebutkan: “… dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” Maknanya: adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
c.  Alinea ketiga menyebutkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini Kemerdekaannya.” Maknanya: bila Negara ingin mencapai cita-cita maka kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridlo Allah yang merupakan dorongan spiritual.
d.  Alinea keempat menyebutkan: “Kemerdekaan dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bagi seluruh rakyat Indonesia.” Alinea ini mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

2.3  Dampak Kerawanan Sosial Terhadap Ketahanan Wilayah Dilihat dari Segi Agama
Kerawanan sosial dapat terjadi akibat faktor-faktor agama seperti pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, penodaan agama, peringatan hari-hari besar keagamaan, perkawinan antar pemeluk beda agama serta bantuan keagamaan dari pihak asing. Dalam usaha mengawasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang rukun, saling pengertian, saling diperlukan pengaturan yang lebih seksama dan terarah melalui perundang-undangan.
Sebagai contoh, pemberitaan tentang Universitas Jember, universitas negeri paling timur pulau Jawa, hanyalah konflik perebutan kekuasaan jabatan Rektor masa bakti 2003 -2007. Wajar jika terjadi demonstrasi pro dan kontra dengan isu demokratisasi  terhadap Rektor terpilih Dr. Ir Tarcius Sutikto, namun menjadi 'tidak wajar" ketika ada upaya membungkus konflik kepentingan ke dalam nuansa konflik agama.  Mencuatnya isu agama tersebut diawali dari penolakan sejumlah kelompok aksi yang menolak salah satu  calon rektor, Dr. Ir. Tarcius Sutikto, alasannya Sutikto bukanlah penganut Muslim. Akan dapat dimaklumi, jika sentimen agama  tersebut dilontarkan oleh mahasiswa yang notabene adalah insan yang masih belajar menjadi manusia intelek. Namun menjadi isu yang krusial ketika hal itu dilontarkan oleh seorang Guru Besar yang seharusnya menghargai pluralitas.
Harus diakui sejarah 'berebut kekuasaan' antar elite di Unej bukan barang baru. Hanya saja kasus itu baru mencuat setelah korban berjatuhan di pihak konstituen terkecil yaitu mahasiswa, disamping kekerasan terhadap wartawan. Selama delapan tahun turut dalam gerbong civitas akademika Unej, diamati dalam dua kubu elite di  jajaran petinggi Unej terbagi dalam kubu "merah" dan "hijau". Jika kedua kubu itu diperluas akan terlihat sebagai dikotomi antara Nasionalis (merah) dan Islam (hijau). Dan bendera itu akan selalu 'dikibarkan' bila perebutan jabatan dari tingkat Senat Mahasiswa hingga Rektorat di mulai.
Disamping menghadapi 'tugas' mahasiwa yang akan dikerjakan sejujurnya tugas Rektor Unej Dr. Ir  Tarcius Sutikto  menjadi lebih berat karena faktor agama yang diyakininya di tengah mayoritas masyarkat muslim. Dalam konteks perbedaan ini agaknya rektor baru Unej  harus mengedepankan dialog dan mengedepankan aktifitas partisipatoris kepada mahasiswa, tokoh agama dan elite di luar 'kubu'nya, tanpa harus menutupi adanya perbedaan tersebut.[10]


V.    PENUTUP

3.2  Kesimpulan
            Dari hasil pembahasan yang di dapat dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kerawanan Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat/kelompok golongan tersebut.
2.      Ketahanan wilayah adalah kondisi  dinamis yang merupakan  integrasi dari setiap aspek kehidupan  masyarakat. Pada hakikatnya ketahanan nasional adalah kemampuan  dan ketangguhan suatu wilayah untuk dapat menjamin  kelangsungan hidup  bermasyarakat yang sejahtera.
3.      Dampak yang ditimbulkan dari aspek agama dapat mengancam ketahanan suatu wilayah tertentu. Ini akibat perpecahan yang terjadi akibat kurang sikap saling menghargai antar umat beragama.


[1]  Nawawi, Ahmad. ”Ketahanan Nasional dalam Kerawanan Sosial.” http:/www.blogspot.com/2008/04/ketahanan-wilayah-dalam-kerawanan-sosial.html (diakses tanggal 25 Februari 2012)
[2] Nawawi, Ahmad. ”Ketahanan Nasional dalam Kerawanan Sosial.” http:/www.blogspot.com/2008/04/ketahanan-wilayah-dalam-kerawanan-sosial.html (diakses tanggal 25 Februari 2012)
[3] Anonim.2008.” Awas, Isu Sara Goyang Jember!”. http://www.Berita Jember. Google.com (diakses pada tanggal 25 Februari 2012)
[4] Balitbang Kementrian Pertahanan RI. 2010. “Kerawanan Sosial Dan Strategi Penanggulangannya.”http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/kerawanan-sosial-dan-strategi-penanggulangannya (diakses tanggal 25 Februari 2012)
[5] Balitbang Kementrian Pertahanan RI. 2010. “Kerawanan Sosial Dan Strategi Penanggulangannya.”http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/kerawanan-sosial-dan-strategi-penanggulangannya (diakses tanggal 25 Februari 2012)
[6]  Saifudin, Syarif.2007.”Strategi Penggulangan Kerawanan Sosial”. http:/www.google.com (diakses tanggal 26 Februari  2012)
[7]  Junaidi, Wawan. “Makalah Tentang Ketahanan Sosial.” http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/11/makalah-tentang-ketahanan-sosial.html (diakses tanggal 17 Februari 2012)
[8]  Balitbang Kementrian Pertahanan RI. “Kerawanan Sosial Dan Strategi Penanggulangannya.” http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/kerawanan-sosial-dan-strategi-penanggulangannya (diakses tanggal 17 Februari 2012)
[9]  Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan. 2003. “Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kerukunan Umat Beragama Tahun 2003.” http://www.fe_unej.tripod.com/warta.htm (diakses tanggal 17 Februari 2012) Jakarta: Tim Penyusun Departemen Agama Republik Indonesia.
[10] Ferdi, Gamal. 2003. “Isu Agama ditengah Pemilihan Rektor.” Jember: Warta Kampus

1 komentar:

Posting Komentar