BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Tumbuhan
membentuk protein dari CO2, H2O dan senyawa nitrogen.
Hewan yang makan tumbuhan mengubah protein
nabati menjadi protein hewani. Di samping digunakan untuk pembentukan sel-sel
tubuh, protein juga dapt digunakan sebagai sumber energi apabila tubuh kita
kekurangan karbohidrat dan lemak. Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat
dalam protein ialah sebagai berikut : Karbon 50 %, hidrogen 7 %, oksigen 23%,
nitrogen 16%, belerang 0-3%, dan fosfor 0-3%. Dengan berpedoman pada kadar
nitrogen sebesar 16%, dapat dilakukan penentuan kandungan protein dalam suatu
bahan makanan. Unsur ntrogen ditentukan secara kuantitatif, misalnya dengan
cara Kjeldahl, yaitu dengan cara destruksi dengan asam pekat. Berat protein
yang ditentukan ialah 6,25 kali berat unsur nitrogen.
Protein
mempunyai molekul besar dengan bobot molekul bervariasi antara 5000 sampai
jutaan. Dengan cara hidrolisis oleh asam atau oleh enzim, protein akan
menghasilkan asam-asam amino. Ada 20 jenis asam amino yang terdapat dalam
molekul protein. Asam-asam amino ini terikat satu dengan lain oleh ikatan
peptida. Protein mudah dipengaruhi oleh suhu tinggi, pH, dan pelarut organik
(Poedjiadi, A , 1994).
Protein pada
bagian tubuh tanaman terdapat hampir dalam seluruh bagian tubuh tumbuhan. Protein
ditemukan pada daun muda dan pada bagian tubuh lainnya seperti polong, dan buah
. Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama
lain dengan ikatan peptida. Tumbuhan menyerap unsur-unsur hara dalam tanah
melalui akar dan disalurkan keseluruh bagian tanaman sampai ke daun sehingga
tumbuhan membentuk protein dan melakukan perombakan (proses katabolisme).
Menurut
Sopandi ( 2009), kekurangan protein pada tanaman sama dengan kekurangan
Nitrogen karena pada tanaman terdapat 16% Nitrogen penyusun protein gejala
kekurangannya yaitu:
a. Tanaman
tumbuh kerdil,
b. Daun
menguning karena kekurangan klorofil. Lebih lanjut mengering dan rontok.
c.
Tulang-tulang di bawah permukaan daun muda tampak pucat.
d.
Pertumbuhan tanaman lambat , kerdil dan lemah.
e. Produksi
bunga dan biji rendah.
f. Jaringan
tanaman mengering dan mati,
g. Tanaman
akan mati atau kering apabila tidak diatasi
Metode Bradford
melibatkan pengikatan Coomassie Briliant Blue pada protein dan merubah warnanya
dari merah menjadi biru disebabkan karena pewarna tersebut diprotonasi oleh
gugus amino dari lisin dan triptophan selanjutnya mengikat pada daerah
hidrofobik protein sehingga mengubah warnanya menjadi biru. Pengikatan pewarna
ini mengakibatkan perubahan absorbansi maksimum pewarna dari 365 menjadi 595
nm. Metode ini sangat cepat dan efisien. Pengikatan protein dengan pewarna
terjadi setelah kira-kira 2 menit dan stabilitas warna selama satu jam. Tidak
terdapat atau hanya sedikit gangguan dari kation seperti potasium atau
karbohidrat seperti sukrosa. (echa, 2010).
Manusia memerlukan
energi untuk melakukan kegiatan dan aktivitas seharihari, energi tersebut dapat
diperoleh dari berbagai bahan makanan. Secara umum, bahan makanan tersebut
mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Protein merupakan biopolymer polipeptida
yang tersusun dari sejumlah asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida.
Protein merupakan biopolymer yang multifungsi, yaitu sebagai struktural pada
sel maupun jaringan dan organ, sebagai enzim suatu biokatalis, sebagai
pengemban atau pembawa senyawa atau zat ketika melalui biomembran sel, dan
sebagai zat pengatur. (Hawab, 2004).
Protein juga merupakan
makromolekul yang paling berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari
setengah berat kering pada hampir semua organisme. Protein merupakan instrumen
yang mengekspresikan informasi genetik. Protein mempunyai fungsi unik bagi
tubuh, antara lain menyediakan bahan-bahan yang penting peranannya untuk
pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, mengatur kelangsungan proses di
dalam tubuh, dan memberi tenaga jika keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh
karbohidrat dan lemak. Protein ada yang reaktif karena asam amino penyusunnya
mengandung gugus fungsi yang reaktif, seperti SH, -OH, NH2, dan –COOH. Contoh
protein aktif adalah enzim, hormon, antibodi, dan protein transport.
(Fessenden, 1986).
Reagen Bradford yang
digunakan pada percobaan ini dibuat dengan cara melarutkan 100 mg Coomassie
Brilliant Blue G-250 dalam 50 ml etanol 95% dan 100 ml 85% (w / v) asam
fosfat. Kemudian diencerkan sampai 1 L dengan akuades. Reagen harus
disaring melalui Whatman no. 1 filter kertas dan kemudian disimpan dalam
botol kuning pada suhu kamar. Reagen yang disimpan harus disaring terlebih
dahulu sebelum digunakan. (Rosenberg, 2004).
Protein yang
ditemukan dalam lingkungan berair (yaitu polar) dinamakan “protein yang larut”.
protein yang larut umumnya melipat menjadi bentuk globular dimana sebagian
besar rantai polarnya terletak pada
protein dan mengadakan kontak dengan
air,dan sebagian besar rantai samping non polarnya berhimpun bersama dalam fase
non polar yang membentuk inti lipatan protein.Pemisahan gugus non polar menjadi
fase hidrofobik yang terpisah secara termodinamika menguntungkan karena
memungkinkan pembentukan ikatan H yang jumlahnya maksimal sekitar melekul
iar.Setiap molekul air mampu membentuk ikatan H dengan molekul airnya dan
dengan gugus polar protein,tetapi rtidak dengan gugus nonpolar.Bila rantai
samping non polar protein tetap mengadakan kontak dengan air,mereka membatasi
jumlah ikatan H yang dapat dibentuk oleh molekul air sekitarnya (Colby,D.1985).
1.2 Tujuan
1.
Untuk mengetahui kandungan protein
pada bagian-bagian tanaman.
2.
Untuk mengetahui konsentrasi protein
dengan metode Bradford
3. Untuk
mengetahui cara penghitungan kadar protein dalam bagian-bagian tanaman.
BAB 2. BAHAN DAN METODE
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
1. Tabung
reaksi
2. Inkubator
3.
Mikropipet (20, 200, dan 1000 ul)
4. Rak
tabung reaksi
5. Spektrofotometer
6.
mortar pestle
2.1.2 Bahan
1. Coomassie
brilliant blue G-250
2. 95%
ethanol
3. 85%
phosphoric acid
4. BSA
(Bovine Serum Albumine) sebagai standart
5. Bradford
reagent : 100 mg Coomassie brilliant blue G-250 dalam 50 ml ethanol 95% dan
ditambahkan 100 ml (w/v) Phosporic acid dan tambahkan aquades sampai volume 1
lt. Saring larutan dengan kertas Whatman sebelum digunakan.
6. Daun Kopi
2.3 Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
untuk praktikum.
2. Menimbang sampel yaitu daun kopi sebanyak 1
gram.
3. Menggerus 1 gram sampel dengan mortar pestle.
4. Menambahkan 3 kali volume buffer ekstraksi
yang mengandung (100 mM MOPS-NaOH (pH 7,5), 10 mM MgCl2, 1 mM EDTA, 10 mM β-2
mercaptoetanol, dan 10% PVP.
5. Memasukkan homogenat dalam 4 ependorf dan
mensentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm 4ºC selama 10 menit.
6. Mengambil supernatan dan menggunakannya
ebagai sumber enzim (satu ependorf untuk
pengukran protein).
7. Memasukka sampel protein sebanyak 25 µl ke
dalam tabung mikro sentifugasi kemudian diencerkan 4 kali dan diambil 20 µl dan
menambahkan larutan buffer sebanyak 30 µl dan memvorteksnya.
8. Menambahkan 950 µl reagen Bradfort dan
memvorteksnya.
9. 15 menit kemudian, mengukur OD pada panjang
gelombang 595 nm dengan menggunakan spektrofotometer tipe 2001
10. Menghitung kandungan protein sampel menggunakan
grafik standart BSA.
BAB 3. HASIL PERCOBAAN
3.1 Hasil
Pengamatan
Tabel 1. Pembuatan
Standart BSA
No. Tabung
|
Volume BSA(µL)
|
Larutan Buuffer(µL)
|
Reagent Bradford(µL)
|
Absorban Spektrofotometer
|
1
|
0
|
100
|
0
|
0,001
|
2
|
5
|
45
|
950
|
0,427
|
3
|
10
|
40
|
950
|
0,516
|
4
|
20
|
35
|
950
|
0,655
|
5
|
25
|
30
|
950
|
0,665
|
Tabel 2. Hasil
Pengamatan Konsentrasi Protein pada Spectrofotometer
Sampel
|
A 595
|
||
Ulangan 1
|
Ulangan 2
|
Ulangan 3
|
|
Biji Kopi
|
0,601
|
0,610
|
0,587
|
Daun Kopi
|
0,583
|
0,571
|
0,595
|
Biji Kakao
|
0,401
|
0,434
|
0,431
|
Daun Kakao
|
0,409
|
0,438
|
0,418
|
Grafik 1.
Kurva Standart Larutan BSA
Tabel 3. Hasil
Regresi Sampel
Sampel
|
y = 33,36x - 3,102
|
Mean
|
Stdev
|
||
UL 1
|
UL 2
|
UL 3
|
|||
Biji Kopi
|
3,389
|
3,450
|
3,296
|
3,378
|
0,077
|
Daun Kopi
|
3,269
|
3,189
|
3,349
|
3,269
|
0,080
|
Biji Kakao
|
2,055
|
2,275
|
2,255
|
2,195
|
0,122
|
Daun Kakao
|
2,108
|
2,302
|
2,168
|
2,193
|
0,099
|
Perhitungan
Sampel 1
(Biji Kopi)
Ulangan 1 = (33.36(0.601) – 3.102)/20x4 =
3.389
Ulangan 2 = (33.36(0.610) – 3.102)/20x4 =
3.450
Ulangan 3 = (33.36(0.589) – 3.102)/20x4 =
3.296
Mean = 3.389 + 3.450 + 3.296 = 3.378
3
Standart defiasi = 0.007
Sampel 2
(Daun Kopi)
Ulangan 1 = (33.36(0.583) – 3.102)/20x4 =
3.269
Ulangan 2 = (33.36(0.571) – 3.102)/20x4 =
3.189
Ulangan 3 = (33.36(0.595) – 3.102)/20x4 =
3.349
Mean = 3.269 + 3.189 + 3.349 = 3.269
3
Standart defiasi = 0.080
Sampel 3
(Biji Kakao)
Ulangan 1 = (33.36(0.401) – 3.102)/20x4 =
2.055
Ulangan 2 = (33.36(0.434) – 3.102)/20x4 =
2.275
Ulangan 3 = (33.36(0.431) – 3.102)/20x4 =
2.225
Mean = 2.005 + 2.275 + 2.225 = 2.195
3
Standart defiasi = 0.122
Sampel 3
(Biji Kakao)
Ulangan 1 = (33.36(0.409) – 3.102)/20x4 =
2.108
Ulangan 2 = (33.36(0.438) – 3.102)/20x4 =
2.302
Ulangan 3 = (33.36(0.418) – 3.102)/20x4 =
2.168
Mean = 2.108 + 2.302 + 2.168 = 2.193
3
Standart defiasi = 0.099
Dari uraian
tabel kita mendapatkan absorbansi dari tabel standart BSA, dengan tabung reaksi
pertama sebagai control menghasilkan absorban 0,001. Tabung kedua dengan
komposisi larutan BSA 5 µL + larutan buffer 45 µL+ reagent Bradford 950 µL menghasilkan absorban 0,427.Tabung ke tiga dengan komposisi larutan BSA 10 µL + larutan
buffer 40 µL+ reagent Bradford 950 µL
menghasilkan absorban 0,516. Untuk
tabung ke empat dengan komposisi larutan
BSA 20 µL + larutan buffer 35 µL+ reagent
Bradford 950 µL menghasilkan absorban
0,655. Dan tabung ke lima dengan
komposisi larutan BSA 25 µL + larutan buffer 30 µL+ reagent Bradford 950 µL menghasilkan absorban 0,665.
Untuk pengamatan tabel pada
pengujian kadar protein dengan menggunakan alat Spektrofotometer pada
bagian-bagian tanaman menghasilkan data
bahwa biji kopi ulangan pertama menghasilkan absorban sebesar 0,601. Untuk
ulangan kedua menghasilkan absorban sebsar 0,610.Untuk ulangan ketiga
menghasilkan absorban sebesar
0,587.Sedangkan pada pengujian konsentrasi protein pada daun kopi
ulangan pertama menghasilkan absorban sebesar 0,583. Untuk ulangan kedua
menghasilkan absorban sebesar 0,572.
Untuk ulangan ketiga menghasilkan absorban sebesar 0,595. Sedangkan pada pengujian biji kakao
Untuk ulangan pertama menghasilkan absorban sebesar 0,401. Untuk ulangan kedua menghasilkan
absorban sebesar 0,434. Untuk ulangan
ketiga menghasilkan absorban sebesar
0,431.Dan untuk pengujian konsentrasi protein pada daun kakao untuk
ulangan pertama menghasilkan absorban sebesar
0,409. Untuk ulangan kedua menghasilkan absorban sebesar 0,438. Untuk ulangan ketiga menghasilkan
absorban sebesar 0,418.
Dari grafik tersebut terlihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi BSA yang diujikan maka jumlah konsentrasi protein
juga semakin meningkat. Itu terbukti dari garis yang ditarik menghasilkan
bentuk linear. Pada grafik terlihat bahwa pada konsentrasi BSA 5 µL
menghasilkan absorban sebesar 0,427. Sedangkan bila konsentrasi BSA dinaikkan
10 µL, maka konsentrasi protein juga meningkat yaitu menjadi sebesar 0,516. Dan
dengan menaikkan konsentrasi menjadi 20 µL, maka konsentrasi protein menjadi
0,655. Sedangkan bila konsentrasi ditambah lagi menjadi 25 µL, maka konsentrasi
protein juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,665.
Dari
nilai absorbansi standar BSA, maka diperoleh kurva standar BSA dengan persamaan
regresi y = 33,36x - 3,102. Apabila absorbansi sampel 1 adalah 3.389, 3.450 dan 3.296 dari ekstrak biji kopi, lalu dimasukkan ke dalam persamaan
regresi, maka rata‐rata kadar
proteinnya adalah 3.378 µL. Sedangkan
untuk sampel 2 yaitu ekstrak daun kopi dengan absorban 3.269 , 3.189 , dan
3.349 apabila dimasukkan dalam persamaan regresi menghasilkan rata-rata kadar
protein adalah 3.269 µL. Untuk sampel 3 dengan absorbansi 2.055 , 2.275 , dan
2.255 apabila dimasukkan dalam persamaan regresi 2.195 µL. Dan pada sampel 4
dengan absorbansi 2.108 , 2-302 , dan 2.168 apabila dimasukkan ke dalam persmaan
regresi menghasilkan rata – rata kadar proteinnya sebesar 2.193 µL.
Oleh karena itu, dari hasil percobaan tersebut dapat diketahui
bahwa protein pada bagian biji mengandung lebih banyak kadar proteinnya.
BAB 4. PEMBAHASAN
Uji Bradford pewarna didasarkan
pada keseimbangan antara tiga bentuk pewarna G Blue Coomassie kondisi. Di bawah
asam kuat, pewarna yang paling stabil sebagai bentuk terprotonasi merah dua
kali lipat setelah mengikat protein. Uji Bradford lebih cepat, melibatkan
langkah-langkah pencampuran lebih sedikit, tidak memerlukan pemanasan, dan
memberikan respon kolorimetri lebih stabil daripada tes yang lain. Namun,
respon yang rentan terhadap pengaruh dari sumber non protein, khususnya
deterjen, dan menjadi semakin lebih nonlinier pada akhir tinggi konsentrasi berbagai
protein yang berguna.
Komposisi reagen Bradford dibuat
dengan melarutkan 100 mg Coomassie Blue G250 di 50 mL etanol 95%. Solut
tersebut kemudian dicampur dengan 100 mL asam fosfat 85% dan disusun
sampai dengan 1 L dengan air suling. Uji Bradford merupakan suatu prosedur
sederhana untuk penentuan konsentrasi protein dalam larutan adalah Bradford
protein assay yang digambarkan pertama oleh Bradford. Sebuah estimasi
konsentrasi protein penting untuk dilakukan dengan cepat dan akurat dalam
berbagai bidang studi protein. Uji Bradford telah menjadi pilihan metode
untuk mengukur banyak protein di laboratorium. Teknik ini sederhana, cepat dan
lebih sensitif dibandingkan dengan metode Lowry. Selain itu, bila dibandingkan
dengan metode Lowry adalah kurang terganggu oleh reagen umum dan komponen
nonprotein sampel biologis.
Uji Bradford mengandalkan
pengikatan dye Coomassie Blue G-250 terhadap protein. Dari hasil
percobaan dihasilkan pada biji kopi menghasilkan absorban rata-rata. Dengan
demikian, jumlah protein dapat diperkirakan dengan menentukan jumlah zat
pewarna dalam bentuk ionik biru. Hal ini dicapai dengan mengukur absorbansi
larutan pada 595 nm. Pewarna muncul untuk mengikat paling mudah untuk arginil
dan residu lisil protein. Kekhususan ini dapat mengakibatkan variasi respon uji
untuk protein yang berbeda, yang merupakan kekurangan utama dari metode ini.
Uji Bradford asli menunjukkan variasi yang besar dalam respon antara protein
yang berbeda. Beberapa modifikasi untuk metode telah dikembangkan untuk
mengatasi masalah ini.
BSA digunakan untuk
menstabilkan beberapa enzim pencernaan pada DNA dan mencegah adhesi enzim untuk
tabung reaksi dan kapal lainnya. Ini protein lain tidak mempengaruhi enzim yang
tidak perlu untuk stabilisasi. BSA juga biasa digunakan untuk menentukan jumlah
protein lain, dengan membandingkan kuantitas yang tidak diketahui jumlah
protein untuk diketahui BSA. BSA digunakan karena stabilitas, kurangnya efek
dalam reaksi biokimia banyak, dan biaya rendah sejak jumlah besar dapat dengan
mudah dimurnikan dari darah sapi, produk sampingan dari industri ternak. NaCl
digunakan sebagai pereaksi.
Dalam praktikum kali ini, kurva
standar digunakan untuk mengetahui kenaikan absorbansinya. Selain itu juga
digunakan untuk mengetahui persamaan garis linier sehingga terlihat dengan
jelas. Pada percobaan pembuatan kurva standar menggunakan blanko berfungsi
untuk menghitung berapa nilai dari absorban jika tidak dihitung blankonya maka
inti sampel absorbannya makin besar. Maka didapatkan nilai absorbansi yaitu
0.001, 0.427, 0.516, 0.655, dan 0.665. Kenaikan absorbansi ini juga seiring
dengan kenaikan konsentrasi dari BSA-nya. Jadi, semakin tinggi konsentrasi
semakin tinggi absorbansinya.
Pada percobaan penentuan
konsentrasi rata-rata pada protein sampel menggunakan konsentrasi yang berbeda
yaitu pada sampel satu sebesar 0.599 µL. Pada percobaan sampel kedua sebesar
0.583 µL. Pada percobaan sampel ketiga sebesar 0.422 µL.Dan pada percobaan
sampel keempat sebesar 0.421 µL. Pada
percobaan tersebut dengan konsentrasi yang berbeda didapatkan absorbansi yang
tidak teralu jauh berbeda.
Pada pengujian kadar protein
dengan metode bradford, konsentrasi protein tertinggi ada pada kandungan biji
kopi. Biji kopi dalam percobaan mengandung rata-rata konsentrasi absorbansi
sebesar 0,559 dan kandungan yang terndah terdapat pada daun kakao yaitu sebesar
0,421.Biji mengandung banyak protein dibandingkan dengan daun dikarenakan pada
biji merupakan tempat penyimpanan hasil fotosintat dari tanaman. Ini membuktikan bahwa kandungan protein pada
biji lebih tinggi dari pada jaringan yang lain.
BAB 5. PENUTUP
5.1
Kesimpulan
1.
Dalam percobaan uji protein, untuk menghitung kadar
protein pada tanaman digunakan
larutan BSA guna untuk membandingkan kadar protein pada tanaman dengan larutan
tersebut.
2.
Hasil praktikum pembuatan kurva
standar yang menggunakan blanko dapat dihasikan bahwa semakin besar nilai
konsentrasi dari BSA maka akan semakin besar absorbansinya. Kurva yang
terbentuk pun akan meningkat dengan besar persamaan garisnya adalah y = 33,36x - 3,102 .
3.
Pada percobaan penentuan
konsentrasi rata-rata pada protein sampel menggunakan konsentrasi yang berbeda
yaitu pada sampel satu sebesar 0.599 µL. Pada percobaan sampel kedua sebesar
0.583 µL. Pada percobaan sampel ketiga sebesar 0.422 µL.Dan pada percobaan
sampel keempat sebesar 0.421 µL. Pada
percobaan tersebut dengan konsentrasi yang berbeda didapatkan absorbansi yang
tidak teralu jauh berbeda.
4.
Pada sampel dihasilkan konsentrasi
rata-rata absorbansi protein terbesar terdapat pada biji kopi sebesar 0,599 dan
untuk konsentrasi rata-rata absorbansi terendah terdapat pada daun kakao
sebesar 0,421. Biji mengandung banyak protein dikarenakan hasil fotosintat dari
tanaman tersimpan pada biji dibandingkan dengan daun dalam percobaan.
5.2
Saran
Dalam praktikum
pengujian kadar protein menggunakan metode Bradford, diharapkan penggerusan
bahan untuk uji protein harus sampai halus. Dan dalam pengambilan larutan
dengan mikropipet harus tepat dan benar
pengukuran skala mikropipet serta perhitungan kandungan protein harus teliti dan
cermat untuk mendapatkan hasil data yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Echa. 2010.
pengukuran kadar protein dengan metode Bradfrord http://biologistsblog.blogspot.com/2010/04/pengukuran-kadar-protein-dengan-metode.html
Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Hawab, H. M. 2004. Pengantar Biokimia. Jakarta : Bayu Media
Publishing.
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Rosenberg, I.M. 2004. Protein Analysis and Purification: Benchtop techniques. Massachusetts General Hospital: Boston.
Sopandi, Opan. 2009. Protein dalam
Tanaman. http://opansopandi.wordpress.com/2009/06/26/protein-dalam-tumbuhan/ (serial
online) diakses tanggal 14 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar