PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH BERBASIS AGEKOLOGI DALAM
PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN
DI SULAWESI TENGAH
Disusun
Sebagai Tugas Akhir Agroekologi
Agus Setiawan (111510501071)
Fakultas Pertanian Universitas Jember
ABSTRAK
Sistem pertanian
yang efisien, berproduksi tinggi dan berkelanjutan dapat dicapai dengan
memanfaatkan sumberdaya berdasarkan karakteristik, kemampuan dan kesesuaiannya.
Lahan sebagai modal dasar dan faktor penentu utama dalam menentukan hasil
produksi pertanian, maka dari itu lahan tersebut harus dijaga agar tidak cepat
mengalami kerusakan. Oleh karena itu diperlukan sistem pertanian yang baik
dalam menunjang kesuburan lahan pertanian. Salah satu sistem pertanian yang
dapat menunjang kelestarian lingkungan yaitu sistem pertanian yang berbasis
Agroekologi. Sistem pertanian berbasis Agroekologi ini menerapkan zonasi
agroekologi dalam pelaksanaannya. Zona Agroekologi
(ZAE) adalah suatu penyederhanaan dan pengelompokkan agroekosistem yang beragam
dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif . Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai
dasar pewilayahan berbagai komoditas agar dicapai tingkat produksi yang optimal
dan berkelanjutan.
Pada kesempatan kali ini saya membahas tentang penataan sistem pertanian dan
penetapan komoditas unggulan berdasarkan zona agroekologi di Sulawesi Tengah. Zona
agroekologi wilayah Sulawesi Tengah skala 1:250.000 didapatkan tujuh zona
utama, empat sistem pertanian dan beberapa jenis tanaman alternatif.
Kata kunci : Sistem
pertanian, kesuburan lahan, agroekologi, zona agroekologi
Pendahuluan
Pembangunan pertanian
dalam arti luas merupakan salah satu sektor pembangunan penting untuk
mensejahterakan kehidupan masyarakat. Namun demikian kegiatan sektor ini tidak
terlepas dari dampak negatif yang dapat mengancam hasil pembangunan itu
sendiri. Dengan tuntutan peningkatan produktivitas pada seluruh komoditi
pertanian, pertimbangan kelestarian sumberdaya, kesinambungan dan wawasan
lingkungan sering tidak lagi menjadi perhatian penting para penentu kebijakan.
Berbagai contoh pelaksanaannya antara lain terlalu bernafsunya mengejar
produktivitas komoditi tanaman pangan/semusim, hutan tanaman industri,
pengembangan tambak dan pengembangan agribisnis yang lain yang tidak
mengindahkan kepentingan kelestarian dalam jangka panjang. Keseluruhan bentuk
kebijakan pengembangan ini menempatkan produktivitas sebagai tujuan utama tanpa
disertai upaya yang memadai untuk mencegah atau menanggulangi dampak negatif
yang ditimbulkannya. Di pihak lain jumlah penduduk baik Indonesia maupun dunia
terus bertambah cepat yang menuntut hasil pertanian ikut bertambah pula (Bhermana & Firmansyah, 1999).
Sementara itu
kecenderungan produksi pertanian yang sudah levelling off ikut menambah beban
pemikiran aspek ini jika penyelesaian positif yang diharapkan. Atas dasar
kenyataan inilah agroekologi perlu dikembangkan sehingga dapat diperoleh format
kompromi yang mengakomodasikan kepentingan semua aspek melalui pendekatan yang
holistik. Budidaya pertanian yang dalam pengertian ini termasuk pertanian
tanaman pangan, kehutanan, peternakan dan perikanan sudah saatnya ditempatkan
dalam porsi kesatuan yang utuh dalam suatu ekosistem sumberdaya alam. Karena
itu sebagai konsekuensinya budidaya tersebut berarti mengelola ekosistem
sumberdaya alam yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Pemahaman kaidah-kaidah
ini dalam ekosistem sumberdaya tertentu akan membantu pengelolaannya sehingga
didapatkan optimalisasi produktivitas dan kelestariannya. Cakupan ruang lingkup
kegiatannya adalah mencari bentuk-bentuk pengelolaan ekosistem sumberdaya alam
yang sudah semakin langka melalui pendekatan pertanian ekologis (ecologically
support system) agar diperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat
dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan perkembangan politik saat ini yang
menuju pada otonomi daerah, karena diharapkan mampu meningkatkan pendapatan
asli daerah (PAD) tanpa mengorbankan kondisi lingkungan baik jumlah maupun intensitasnya.
Salah satu solusi alternatif
peningkatan produksi pertanian dan teknologi pertanian yaitu melalui revolousi
pertanian, maka hampir semua sistem pertanian di berbagai negara mengadopsi
revolusi pertanian sebagai alternatif untuk upaya mensejahterakan petani dan
peningkatan produksi pertaniannya. Revolusi pertanian yang merupakan sistem
pertanian yang menunjukkan pertanian yang modern. Namun seiring kemajuan yang
diperlihatkan oleh pertanian konvensional telah tampak dampak-dampak negatif
yang ditimbulkan akibat penerapan pertanian konvensional dengan input berbahan
kimia yang tinggi. Sehingga menyebabkan diantaranya penurunan unsur hara di
dalam tanah, pencemaran air,bahaya saluran pernapasan bagi petani dan kandungan
residu kimia yang dikonsumsi oleh konsumen. Berbagai permasalahan kesehatan dan
degradasi lingkungan menyebabkan citra pertanian konvensional menurun, sehingga
masyarakat dunia mulai sadar akan konsep pertanian alternatif yaitu yang
berwawasan lingkungan dan kesehatan. Konsep tersebut dikenal dengan agroekologi
atau pertanian organik.
Agroekologi sebagai penerapan konsep
dan prinsip ekologi dalam mendesain dan mengelola agroekosistem yang
berkelanjutan. Gagasan tentang agroekologi adalah melampaui penggunaan praktik
alternatif dan untuk mengembangkanagroekosistem dengan ketergantungan minimal
pada input agrokimia yang tinggi dan energi, yang menekankan sistem pertanian
yang kompleks dimana interaksi ekologi dan kesinergisan antara komponen
biologis menyediakan mekanisme untuk sistem kesuburan tanah, produktifitas dan
perlindungan tanaman. Pembangunan pertanian di Indonesia akan diarahkan pada
pertanian organik seperti yang dicanangkan pemerintah dalam go organic 2010.
Gerakan-gerakan pertanian
berkelanjutan atau dengan istilah lainnya seperti pertanian terpadu,
agroekologi, dan lainnya telah mulai digerakkan oleh kelompok-kolompok tani di
daerah. Pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan salah satu
penjabaran yang lebih spesifik dari konsep pembangunan berkelanjutan.Wilayah
Indonesia yang bercirikan kepulauan dengan iklim muson tropis secara mendasar
memberikan kekayaan alam biomassa yang luar biasa, karena melimpahnya jumlah
hujan dan radiasi matahari menjadi sumber energi untuk proses pembentukan
tanah yang subur, dan tumbuhnya berbagai macamkeanekaragaman biologis, baik
flora dan fauna, serta perikanan darat dan laut. Dalam konteks inilah maka
pembangunan pertanian berkelanjutan yang berbasis zona agroekologi perlu
menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomi-politik (Nazam et al. 2005).
Contoh Penetapan Zonasi Agroekologi
Luas dataran wilayah Provinsi
Sulawesi Tengah adalah 6.803.300 ha. Berdasarkan program tata ruang daerah
tetapkan dua fungsi utama penggunaan lahan di Sulawesi Tengah, yaitu kawasan
konservasi dan kawasan budi daya. Kawasan budidaya mencakup 2.166.171 ha atau
31.84% dari daerah dan kawasan konservasi 4.637.316 ha atau 68.16% dari luas
daerah (Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah dalam Syafruddin, 2004).
Berdasarkan data Badan Pertahanan
Nasional dalam Syafruddin (2004), wilayah Provinsi Selawesi Tengah didominasi oleh
lahan berlereng terjal. Lahan dengan tingkat kemiringan > 40% mencapai
52.66% dan kemiringan antara 15-40% sekitar 25.74% dari luas lahan yang ada.
Ini berarti bahwa lahan datar hingga lahan tidak datar dengan tingkat kelerengan 0-15% hanya 21.60% dari luas
provinsi. Dua pertiga dari luas lahan di
Sulawesi Tengah berada pada tingkat kelerengan yang lebih dari 15%. Syafruddin
et al. (2004) melaporkan bahwa sekitar 58.14% dari luas lahan
mempunyai tingkat kemiringan lebih dari 60%, dan 13.67% dengan tingkat
kemiringan 15-40%, dan hanya 28.19% yang berlereng kurang dari 15%. Dari sumber
data tersebut diatas, bila dikaitkan dengan penetapan tata ruang daerah, maka
lahan yang tergolong datar hanya sekitar 21.61% - 28.19%. Ini berarti terdapat lahan cukup luas dengan tingkat kelerengan lebih dari
15% yang dimanfaatkan untuk kawasan budidaya. Kondisi ini dapat memacu
kerusakan lahan bila pengolahannya kurang baik.
Delineasi ZAE wilayah Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan metodologi penyusunan peta zona menghasilkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian dan beberapa komoditas
unggulan alternatif (Gambar 1) (Syafruddin et al.2004; Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah dalam Syafruddin, 2004). Agar lahan tidak mengalami kerusakan, maka
pemanfaatannya haus sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan, diikuti
pemilihan komoditas berdasarkan zona-zona yang ada dan penerapan teknologi
secara sepesifik.
Gambar 1. Zona
agroekologi dan sistem pertanian Provinsi
Sulawesi Tengah
Sumber
: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah dalam Syafruddin (2004).
Pembahasan
1. Penataan
Sistem Petanian
Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah sejak tahun 1997 telah melakukan
penataan sistem pertanian melalui pengkajian pemetaan zona agroekosistem
wilayah. Berdasarkan persyaratan dan parameter biofisik lahan, yang meliputi evaluasi,
suhu, kelembapan, fisiologi, lereng, draenase dan jenis tanah, telah ditetapkan
penataan sistem pertanian dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil delineasi
peta ZAE, Syafruddin et al. (2004)
mengemukakan bahwa di wilayah Sulawesi Tengah terdapat tujuh zona utama dengan
penataan sistem pertanian dan alternatif komoditasnya (Tabel 1). Sistem
pertanian dan alternatif komoditas berdasarkan ZAE (Syafruddin et al. 2004) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Sumber : Syafruddin et al. (2004).
Zona
1 merupakan zona untuk pengembangan tanaman
kehutanan, yang meliputi meranti, damar, rotan, kemiri, kruing dan kapuk serta
untuk konservasi. Pemanfaatan atau eksploitasi tanaman kehutanan tersebut harus
dilakukan dengan hati-hati dan terencana untuk mencegah malapetaka, seperti
banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Rotan dan damar
merupakan tanman alami hutan dan sebagai sumber devisa, sehingga
pengeksploitasiannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kabupaten Banggai
Kepulauan tidak memiliki zona 1, sehingga semua area di daerah tersebut dapat
digunakan untuk budidaya pertanian produktif, kecuali daerah cagar alam dan
konservasi.
Zona
II terbagi atas dua
subzona utama
yaitu II ax dan II bx dengan fisiografi
perbukitan dan dataran. Zona ini berada pada tingkat kemiringan 15-40%. Sistem
pertanian yang dapat dikembangkan adalah budidaya tanaman tahunan, seperti kopi
arabika, robusta, kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, rambutan, nangka, manggis,
durian, duku, kelengkeng, leci dan jambu.
Zona
III terbagi atas dua subzona, yaitu subzona
III ax dan III bx dengan fisiografi
perbukitan dan datar. Zona ini berada pada tingkat kemiringan 8-15%. Sistem
pertanian yang dapat dikembangkan adalah wanatani dengan kombinasi tanaman
tahuanan produktif dan tanaman pangan, atau tanaman budidaya lorong dengan menggunakan kombinasi tanaman pangan monokultur dengan
menerapkan teknologi konservasi.
Zona
IV terbagi atas tiga
subzona, yaitu subzona IV
ax 1, IV ax 1i dan IV ax 2 dengan fisiologi
datar hingga endapan aluvial. Zona ini berada pada wilayah dengan lereng kurang
dari 8%. Sistem peranian yang dapat dikembangkan mencakup semua jenis
komoditas. Zona IV
ax 1i merupakan area yang telah dilengkapi dengan sarana irigasi, sehingga
pengembangannya diarahkan untuk
intensifikasi padi sawah. Zona IV
ax 1 merupakan area lahan sawah tadah hujan dengan pilihan komoditas meliputi
padi sawah, kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, padi gogo, bawang
merah, tomat, cabai, dan tanaman
sayuran lainnya. Untuk mengoptimalkan sumberdaya lahan pada zona IV ax 1, maka model usaha
tani yang potensial dikembangkan adalah pengaturan pola tanam. Zona IV ax 2 merupakan area
dataran rendah lahan kering dengan
fisiografi datar. Pilihan komoditas yang potensial adalah semua jenis tanaman
termasuk tanaman tahunan (kelapa, kakao, jambu mete, mangga, nangka, kopi),
tanaman pangan (kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi
jalar dan padi gogo) serta sayuran (Tabel 1).
Zona V berada pada wilayah dengan
lereng kurang dari 3%, namun didominasi tanah berpasir atau berbatu dan
dangkal. Sistem pertanian dan komoditas yang dianjurkan adalah vegetasi alam
atau untuk pengembangan pakan ternak seperti lamtoro dan gamal. Zona VI dan
zona VII berada pada fisiografi datar dan cekungan dengan kemiringan kurang
dari 3%. Zona ini dipengaruhi oleh genangan air, baik secara musiman maupun
permanen, serta pasang surut air laut. Zona 6 dapat dikembangkan untuk tambak
udang dan bandeng atau sebagai penyangga pantai dengan mengembagkan hutan
pantai. Sementara zona VII yang mendapat genangan air baik secara periodik
maupun permanen dapat di masukkan ke dalam kelompok lahan rawa. Biasanya lahan
seperti ini memiliki ekosistim yang rawan dan rapuh. Oleh karena itu,
pengembangannya memerlukan perencanaan teliti dan baik dengan menerapkan
teknologi dan pengelolaan yang khusus dan spesifik. Pemilihan komoditas pada
zona ini sangat bergantung pada kondisi biosifik lahan. Namun secara umum pada
daerah yang mempunyai kondisi gambut dangkal dapat diusahakan berbagai
komoditas pertanian termasuk tanaman pangan dengan perencanaan dan pengelolaan
yang tepat. Tanaman pangan dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat.
Tanaman yang dapat dikembangkan pada zona ini adalah kelapa sawit, karet,
kakao, rambutan, sagu, tanaman pangan, dan cabai.
2. Penentuan Komoditas Unggulan
Penentuan
komoditas unggulan suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha
tani dan memacu perdagangan antar daerah dan antar negara. Hal ini sejalan
dengan program pemerintah daerah program pemerintah daerah yang menetapkan
program pembangunan Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU)
dan pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN). Program ini
belum sepenuhnya didukung oleh data sumber daya lahan, iklim dan sosial ekonomi
yang lengkap dan akurat. Untuk itu perlu satu kajian tentang ketersediaan
sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi agar pengembangan program ini
dapat berjalan dengan baik.
Sejak tahun 1996 BPTP Sulawesi Tengah telah melakukan
pengkajian ZAE dan pemilihan komoditas unggulan di kabupaten di Sulawesi Tengah
(Tabel2). Kakao, sapi dan perikanan laut merupakan komoditas unggulan dominan
di Sulawesi Tengah.
Sumber : Syafruddin et al. (2004).
Komoditas
unggulan wilayah yang ditetapkan oleh Bappeda TK I Provinsi Sulawesi Tengah
dalam Syafruddin (2004) adalah padi sawah, kakao, kelapa sawit, jambu mente,
kopi, sapi potong, ikan segar, mutiara serta ikan kerapu. Semua komoditas
unggulan Sulawesi Tengah yang diterapkan berdasarkan hasil delineasi ZAE
umumnya mempunyai produktitivitas rendah. Produktivitas kedelai hanya 0,98
t/ha, jagung 2,31 t/ha, kacang tanah 1,15 t/ha, dan cengkeh 0,10 t/ha (Badan
Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah dalam Syafruddin, 2004). Kondisi ini
menggambarkan adanya senjang hasil yang cukup besar antara di tingkat petani
dengan di tingkat penelitian dan potensi hasil setiap komoditas, sehingga
peluang untuk meningkatkan produktivitas masih cukup tinggi. Untuk itu perlu
dilakukan pengkajian pola pengembangannya agar potensi produksi tanaman dapat
dicapai.
Pengkajian
pengembangan tanaman pangan dan perbaikan budidaya yang meliputi pemupukan dan
pemilihan varietas yang sesuai dengan kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Tengah
telah dilakukan. Pengkajian sistem usaha tani padi, jagung, dan kedelai
berwawasan agribisnis dapat meningkatkan produksi dan efisiensi uasaha tani.
Mamiek et al. dalam Syafruddin (2004) melaporkan bahwa penerapan teknologi
tabela dan pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah yang dilakukan di Kabupaten
Poso dan Donggala dapat meningkatkan hasil padi 0,48 t/ha dan efisiensi tenaga
kerja 17,12%. Penelitian jagung juga memberikan hasil positif. Syafruddin et
al. (1999) mengemukakan bahwa penerapan pola tumpang sari jagung kedelai dapat
memberikan hasil jagung pipilan 0,656 t/ha dan kedelai 1,53 t/ha dengan
penghasilan Rp 1.062.000 /ha/musim tanam. Dengan demikian, produksi meningkat
sebesar 85,25% dibandingkan dengan tingkat produksi di tingkat petani.
Untuk
tanaman hortikultura, penelitian pengembangan bawang merah memberikan hasil
yang nyata. Penggunaan bibit bermutu baik dapat meningkatkan hasil umbi 0.80
t/ha. Sementara itu dengan pemupukan N 120 kg/ha + P2O5
100 kg/ha + K2O 90 kg/ha + pupuk organik 1.200 kg/ha, hasil umbi mencapai
5,41 t/ha dan berbeda sangat nyata dibanding tanpa pemberian pupuk anorganik. Analisis
ekonomi terhadap beberapa teknologi budidaya bawang merah yang dilaksanakan di
Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa teknologi tersebut menguntungkan dengan nilai
R/C di atas 1.80. Ketersediaan bahan organik pada derah sentra produksi bawang
merah cukup terjamin.
Hasil
pengkajian kakao di beberapa sentra pengembangan menunjukkan bahwa pemupukan
urea 250 kg/ha dapat meningkatkan hasil biji kakao 0.33 t/ha. Tingginya respon
tanaman kakao terhadap pemupukan urea diduga karena sebagian sebagian besar
area pertanaman kakao di Sulawesi Tengah mempunyai kandungan nitrogen yang
rendah. Permasalahan yang lain dihadapi petani kako adalah tingginya serangan
hama penggerek buah kakao (PBK).
Optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya lahan merupakan suatu alternatif untuk meningkatkan
produtivitas lahan. Salah satu adalah diversifikasi tanaman pada area yang
dimanfaatkan. Pola diversifikasi yang berkembang di Sulawesi Tengah adalah
pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa, pisang, dan pengembalaan ternak.
Syafruddin et al. (2004) melaporkan bahwa penanaman kakao di antara tanaman
kelapa cukup menguntungkan dengan hasil biji kakao 2 t/ha. Dengan harga jual Rp
2.400 / kg, maka penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 4.800.000 / ha/tahun.
Ditambah hasil kopra 2 t/ha/tahun dengan harga jual Rp 7.000 /kg, akan
diperoleh penerimaan Rp 1.400.000 / ha/tahun. Dengan demikian, penanaman kakao
secara intennsif di antara kelapa dapat meningkatkan penerimaan 2-3 kali lipat
dari sistem monokultur.
Hasil penelitian terhadap sapi potong juga menunjukkan
hasil yang prospektif. Penggemukan sapi potong dengan pemberian ransum tambahan
dapat meningkatkan bobot badan 0,29 – 0,49 kg/hari (Bulo et al. dalam
Syafruddin, 2004).
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas bahwa
pembangunan ekonomi wilayah berbasis agroekologi di Provinsi Sulawesi Tengah
telah berdampak positif bagi produktivitas dan kualitas hasil pertanaman di
provinsi tersebut. Dalam perkembangannya teknologi yang digunakan dalam usaha
meningkatkan produktivitas pertanaman telah diusahakan dengan baik, namun perlu
sedikit variasi guna meningkatkan hasil yang maksimal. Untuk menunjang peningkatan
hasil produksi juga diperlukan tambahan pupuk kimia dan pupuk organik secara
berimbang agar kualitas lahan dapat terjaga kesuburannya. Dari analisis sektor
ekonomi di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah hasilnya adalah sangat positif
setelah dilakukan sistem pertanian yang diarahkan pada sistem pertanian
berbasis zona agroekologi. Hal tersebut ditunjang dengan terdapatnya
sektor-sektor industri yang telah dikembangkan di wilayah tersebut. Sehingga
hasil produknya cukup berkualitas untuk pasar lokal maupun pasar luar negeri.
Kesimpulan
Pembangunan ekonomi
wilayah Sulawesi Tengah yang berbasis agroekologi sudah cukup bagus dan dapat
digolongkan dalam sistem pertanian yang berkelanjutan, namun pembangunan sector
pertanian di Sulawesi Tengah masih dapat ditingkatkan. Dalam upaya pembanguan
sektor pertanian yang kuat, berproduktivitas tinggi, efisien, berdaya saing
tinggi dan berkelanjutan perlu dilakukan penetapan komoditas unggulan di setiap
wilayah pengembangan dengan memanfaatkan zonasi agroekologi. Dari zonasi
komoditas unggulan yang telah dilakukan di wilayah Sulawesi Tengah maka didapat
komoditas unggulan yang dapat dikembangkan adalah kakao, cengkeh, kelapa, jambu
mete, mangga, kedelai, kacang tanah, jagung, bawang merah, sapi potong,
kambing, domba, serat udang dan perikanan.
Untuk meningkatkan
produktivitas dan nilai jual suatu komoditas unggulan, pengembangan komoditas
unggulan perlu dilakukan dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kondisi
agroekosistem, berkelanjutan serta didukung kebijakan pemerintah. Dukungan
hasil penelitian yang masih dibutuhkan adalah peningkatan kualitass hasil
melalui perbaikan pascapanen. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh sitem
pertanian berbasis agroekologi sangat nyata untuk menunjang produktivitas hasil
suatu pertanaman guna meningkatkan perekonomian wilayah Sulawesi Tengah.
Daftar Pustaka
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Tengah (2000) dalam Syafruddin. 2004. Peta Zona Agroekologi, skala 1:250.000
Provinsi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah,
Palu.
Bhermana & Firmansyah. 1999. ”Zone Agroekologi
Kapet Sambun Sebagai Salah Satu Arahan Pembangunan Pertanian Di Kalimantan
Tengah”. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Palangkaraya, Banjarmasin.
Nazam, M, Prisdiminggo dan Awaludin Hippi. 2005.
“Kelayakan Usahatani Tanaman Pangan Unggulan dan Arahan Pengembangannya Di
Sumbawa Barat NTB”. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Mataram.
Syafruddin, Agustinus N. Kairupan, A. Negara, dan J.
Limbongan. 2004. ”Penataan
Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi
Di Sulawesi Tengah”. Jurnal Libang
Pertanian, 23 (2).
0 komentar:
Posting Komentar