Pages

Subscribe:
Powered By Blogger

Rabu, 09 Mei 2012

Pembangunan Ekonomi Wilayah

PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH BERBASIS AGEKOLOGI DALAM PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN
DI SULAWESI TENGAH

Disusun Sebagai Tugas Akhir Agroekologi
Agus Setiawan (111510501071)
Fakultas Pertanian Universitas Jember

ABSTRAK
Sistem pertanian yang efisien, berproduksi tinggi dan berkelanjutan dapat dicapai dengan memanfaatkan sumberdaya berdasarkan karakteristik, kemampuan dan kesesuaiannya. Lahan sebagai modal dasar dan faktor penentu utama dalam menentukan hasil produksi pertanian, maka dari itu lahan tersebut harus dijaga agar tidak cepat mengalami kerusakan. Oleh karena itu diperlukan sistem pertanian yang baik dalam menunjang kesuburan lahan pertanian. Salah satu sistem pertanian yang dapat menunjang kelestarian lingkungan yaitu sistem pertanian yang berbasis Agroekologi. Sistem pertanian berbasis Agroekologi ini menerapkan zonasi agroekologi dalam pelaksanaannya. Zona Agroekologi (ZAE) adalah suatu penyederhanaan dan pengelompokkan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif . Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai dasar pewilayahan berbagai komoditas agar dicapai tingkat produksi yang optimal dan berkelanjutan. Pada kesempatan kali ini saya membahas tentang penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan berdasarkan zona agroekologi di Sulawesi Tengah. Zona agroekologi wilayah Sulawesi Tengah skala 1:250.000 didapatkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian dan beberapa jenis tanaman alternatif.

Kata kunci : Sistem pertanian, kesuburan lahan, agroekologi, zona agroekologi

Pendahuluan
Pembangunan pertanian dalam arti luas merupakan salah satu sektor pembangunan penting untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat. Namun demikian kegiatan sektor ini tidak terlepas dari dampak negatif yang dapat mengancam hasil pembangunan itu sendiri. Dengan tuntutan peningkatan produktivitas pada seluruh komoditi pertanian, pertimbangan kelestarian sumberdaya, kesinambungan dan wawasan lingkungan sering tidak lagi menjadi perhatian penting para penentu kebijakan. Berbagai contoh pelaksanaannya antara lain terlalu bernafsunya mengejar produktivitas komoditi tanaman pangan/semusim, hutan tanaman industri, pengembangan tambak dan pengembangan agribisnis yang lain yang tidak mengindahkan kepentingan kelestarian dalam jangka panjang. Keseluruhan bentuk kebijakan pengembangan ini menempatkan produktivitas sebagai tujuan utama tanpa disertai upaya yang memadai untuk mencegah atau menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Di pihak lain jumlah penduduk baik Indonesia maupun dunia terus bertambah cepat yang menuntut hasil pertanian ikut bertambah pula (Bhermana & Firmansyah, 1999).
Sementara itu kecenderungan produksi pertanian yang sudah levelling off ikut menambah beban pemikiran aspek ini jika penyelesaian positif yang diharapkan. Atas dasar kenyataan inilah agroekologi perlu dikembangkan sehingga dapat diperoleh format kompromi yang mengakomodasikan kepentingan semua aspek melalui pendekatan yang holistik. Budidaya pertanian yang dalam pengertian ini termasuk pertanian tanaman pangan, kehutanan, peternakan dan perikanan sudah saatnya ditempatkan dalam porsi kesatuan yang utuh dalam suatu ekosistem sumberdaya alam. Karena itu sebagai konsekuensinya budidaya tersebut berarti mengelola ekosistem sumberdaya alam yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Pemahaman kaidah-kaidah ini dalam ekosistem sumberdaya tertentu akan membantu pengelolaannya sehingga didapatkan optimalisasi produktivitas dan kelestariannya. Cakupan ruang lingkup kegiatannya adalah mencari bentuk-bentuk pengelolaan ekosistem sumberdaya alam yang sudah semakin langka melalui pendekatan pertanian ekologis (ecologically support system) agar diperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan perkembangan politik saat ini yang menuju pada otonomi daerah, karena diharapkan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mengorbankan kondisi lingkungan baik jumlah maupun intensitasnya.
Salah satu solusi alternatif peningkatan produksi pertanian dan teknologi pertanian yaitu melalui revolousi pertanian, maka hampir semua sistem pertanian di berbagai negara mengadopsi revolusi pertanian sebagai alternatif untuk upaya mensejahterakan petani dan peningkatan produksi pertaniannya. Revolusi pertanian yang merupakan sistem pertanian yang menunjukkan pertanian yang modern. Namun seiring kemajuan yang diperlihatkan oleh pertanian konvensional telah tampak dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat penerapan pertanian konvensional dengan input berbahan kimia yang tinggi. Sehingga menyebabkan diantaranya penurunan unsur hara di dalam tanah, pencemaran air,bahaya saluran pernapasan bagi petani dan kandungan residu kimia yang dikonsumsi oleh konsumen. Berbagai permasalahan kesehatan dan degradasi lingkungan menyebabkan citra pertanian konvensional menurun, sehingga masyarakat dunia mulai sadar akan konsep pertanian alternatif yaitu yang berwawasan lingkungan dan kesehatan. Konsep tersebut dikenal dengan agroekologi atau pertanian organik.
Agroekologi sebagai penerapan konsep dan prinsip ekologi dalam mendesain dan mengelola agroekosistem yang berkelanjutan. Gagasan tentang agroekologi adalah melampaui penggunaan praktik alternatif dan untuk mengembangkanagroekosistem dengan ketergantungan minimal pada input agrokimia yang tinggi dan energi, yang menekankan sistem pertanian yang kompleks dimana interaksi ekologi dan kesinergisan antara komponen biologis menyediakan mekanisme untuk sistem kesuburan tanah, produktifitas dan perlindungan tanaman. Pembangunan pertanian di Indonesia akan diarahkan pada pertanian organik seperti yang dicanangkan pemerintah dalam go organic 2010.
Gerakan-gerakan pertanian berkelanjutan atau dengan istilah lainnya seperti pertanian terpadu, agroekologi, dan lainnya telah mulai digerakkan oleh kelompok-kolompok tani di daerah. Pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan salah satu penjabaran yang lebih spesifik dari konsep pembangunan berkelanjutan.Wilayah Indonesia yang bercirikan kepulauan dengan iklim muson tropis secara mendasar memberikan kekayaan alam biomassa yang luar biasa, karena melimpahnya jumlah hujan dan radiasi matahari menjadi sumber energi untuk proses pembentukan tanah yang subur, dan tumbuhnya berbagai macamkeanekaragaman biologis, baik flora dan fauna, serta perikanan darat dan laut. Dalam konteks inilah maka pembangunan pertanian berkelanjutan yang berbasis zona agroekologi perlu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomi-politik (Nazam et al. 2005).

Contoh Penetapan Zonasi Agroekologi
Luas dataran wilayah Provinsi Sulawesi Tengah adalah 6.803.300 ha. Berdasarkan program tata ruang daerah tetapkan dua fungsi utama penggunaan lahan di Sulawesi Tengah, yaitu kawasan konservasi dan kawasan budi daya. Kawasan budidaya mencakup 2.166.171 ha atau 31.84% dari daerah dan kawasan konservasi 4.637.316 ha atau 68.16% dari luas daerah (Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah dalam Syafruddin, 2004).
Berdasarkan data Badan Pertahanan Nasional dalam Syafruddin (2004), wilayah Provinsi Selawesi Tengah didominasi oleh lahan berlereng terjal. Lahan dengan tingkat kemiringan > 40% mencapai 52.66% dan kemiringan antara 15-40% sekitar 25.74% dari luas lahan yang ada. Ini berarti bahwa lahan datar hingga lahan tidak datar dengan tingkat kelerengan 0-15% hanya 21.60% dari luas provinsi. Dua pertiga dari luas lahan di Sulawesi Tengah berada pada tingkat kelerengan yang lebih dari 15%. Syafruddin et al. (2004) melaporkan bahwa sekitar 58.14% dari luas lahan mempunyai tingkat kemiringan lebih dari 60%, dan 13.67% dengan tingkat kemiringan 15-40%, dan hanya 28.19% yang berlereng kurang dari 15%. Dari sumber data tersebut diatas, bila dikaitkan dengan penetapan tata ruang daerah, maka lahan yang tergolong datar hanya sekitar 21.61% - 28.19%. Ini berarti terdapat lahan cukup luas dengan tingkat kelerengan lebih dari 15% yang dimanfaatkan untuk kawasan budidaya. Kondisi ini dapat memacu kerusakan lahan bila pengolahannya kurang baik.
Delineasi ZAE wilayah Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan metodologi penyusunan peta zona menghasilkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian dan beberapa komoditas unggulan alternatif (Gambar 1) (Syafruddin et al.2004; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah dalam Syafruddin, 2004). Agar lahan tidak mengalami kerusakan, maka pemanfaatannya haus sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan, diikuti pemilihan komoditas berdasarkan zona-zona yang ada dan penerapan teknologi secara sepesifik.
Gambar 1. Zona agroekologi dan sistem pertanian Provinsi Sulawesi Tengah
Sumber : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah dalam Syafruddin  (2004).

Pembahasan
1. Penataan Sistem Petanian
            Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah sejak tahun 1997 telah melakukan penataan sistem pertanian melalui pengkajian pemetaan zona agroekosistem wilayah. Berdasarkan persyaratan dan parameter biofisik lahan, yang meliputi evaluasi, suhu, kelembapan, fisiologi, lereng, draenase dan jenis tanah, telah ditetapkan penataan sistem pertanian dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil delineasi peta ZAE, Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa di wilayah Sulawesi Tengah terdapat tujuh zona utama dengan penataan sistem pertanian dan alternatif komoditasnya (Tabel 1). Sistem pertanian dan alternatif komoditas berdasarkan ZAE (Syafruddin et al. 2004) dapat dilihat pada Tabel 1.
   Sumber : Syafruddin et al. (2004).
            Zona 1 merupakan zona untuk pengembangan tanaman kehutanan, yang meliputi meranti, damar, rotan, kemiri, kruing dan kapuk serta untuk konservasi. Pemanfaatan atau eksploitasi tanaman kehutanan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan terencana untuk mencegah malapetaka, seperti banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Rotan dan damar merupakan tanman alami hutan dan sebagai sumber devisa, sehingga pengeksploitasiannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kabupaten Banggai Kepulauan tidak memiliki zona 1, sehingga semua area di daerah tersebut dapat digunakan untuk budidaya pertanian produktif, kecuali daerah cagar alam dan konservasi.
            Zona II terbagi atas dua subzona utama yaitu II ax dan II bx dengan fisiografi perbukitan dan dataran. Zona ini berada pada tingkat kemiringan 15-40%. Sistem pertanian yang dapat dikembangkan adalah budidaya tanaman tahunan, seperti kopi arabika, robusta, kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, rambutan, nangka, manggis, durian, duku, kelengkeng, leci dan jambu.
            Zona III terbagi atas dua subzona, yaitu subzona III ax dan III bx dengan fisiografi perbukitan dan datar. Zona ini berada pada tingkat kemiringan 8-15%. Sistem pertanian yang dapat dikembangkan adalah wanatani dengan kombinasi tanaman tahuanan produktif dan tanaman pangan, atau tanaman budidaya lorong dengan menggunakan  kombinasi tanaman pangan monokultur dengan menerapkan teknologi konservasi.
            Zona IV terbagi atas tiga subzona, yaitu subzona IV ax 1, IV ax 1i dan IV ax 2 dengan fisiologi datar hingga endapan aluvial. Zona ini berada pada wilayah dengan lereng kurang dari 8%. Sistem peranian yang dapat dikembangkan mencakup semua jenis komoditas. Zona IV ax 1i merupakan area yang telah dilengkapi dengan sarana irigasi, sehingga pengembangannya diarahkan untuk intensifikasi padi sawah. Zona IV ax 1 merupakan area lahan sawah tadah hujan dengan pilihan komoditas meliputi padi sawah, kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, padi gogo, bawang merah, tomat, cabai, dan tanaman sayuran lainnya. Untuk mengoptimalkan sumberdaya lahan pada zona IV ax 1, maka model usaha tani yang potensial dikembangkan adalah pengaturan pola tanam. Zona IV ax 2 merupakan area dataran rendah lahan kering dengan fisiografi datar. Pilihan komoditas yang potensial adalah semua jenis tanaman termasuk tanaman tahunan (kelapa, kakao, jambu mete, mangga, nangka, kopi), tanaman pangan (kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar dan padi gogo) serta sayuran (Tabel 1).
            Zona V berada pada wilayah dengan lereng kurang dari 3%, namun didominasi tanah berpasir atau berbatu dan dangkal. Sistem pertanian dan komoditas yang dianjurkan adalah vegetasi alam atau untuk pengembangan pakan ternak seperti lamtoro dan gamal. Zona VI dan zona VII berada pada fisiografi datar dan cekungan dengan kemiringan kurang dari 3%. Zona ini dipengaruhi oleh genangan air, baik secara musiman maupun permanen, serta pasang surut air laut. Zona 6 dapat dikembangkan untuk tambak udang dan bandeng atau sebagai penyangga pantai dengan mengembagkan hutan pantai. Sementara zona VII yang mendapat genangan air baik secara periodik maupun permanen dapat di masukkan ke dalam kelompok lahan rawa. Biasanya lahan seperti ini memiliki ekosistim yang rawan dan rapuh. Oleh karena itu, pengembangannya memerlukan perencanaan teliti dan baik dengan menerapkan teknologi dan pengelolaan yang khusus dan spesifik. Pemilihan komoditas pada zona ini sangat bergantung pada kondisi biosifik lahan. Namun secara umum pada daerah yang mempunyai kondisi gambut dangkal dapat diusahakan berbagai komoditas pertanian termasuk tanaman pangan dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Tanaman pangan dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Tanaman yang dapat dikembangkan pada zona ini adalah kelapa sawit, karet, kakao, rambutan, sagu, tanaman pangan, dan cabai.

2. Penentuan Komoditas Unggulan
Penentuan komoditas unggulan suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu perdagangan antar daerah dan antar negara. Hal ini sejalan dengan program pemerintah daerah program pemerintah daerah yang menetapkan program pembangunan Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) dan pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN). Program ini belum sepenuhnya didukung oleh data sumber daya lahan, iklim dan sosial ekonomi yang lengkap dan akurat. Untuk itu perlu satu kajian tentang ketersediaan sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi agar pengembangan program ini dapat berjalan dengan baik.
Sejak tahun 1996 BPTP Sulawesi Tengah telah melakukan pengkajian ZAE dan pemilihan komoditas unggulan di kabupaten di Sulawesi Tengah (Tabel2). Kakao, sapi dan perikanan laut merupakan komoditas unggulan dominan di Sulawesi Tengah.
   Sumber : Syafruddin et al. (2004).

Komoditas unggulan wilayah yang ditetapkan oleh Bappeda TK I Provinsi Sulawesi Tengah dalam Syafruddin (2004) adalah padi sawah, kakao, kelapa sawit, jambu mente, kopi, sapi potong, ikan segar, mutiara serta ikan kerapu. Semua komoditas unggulan Sulawesi Tengah yang diterapkan berdasarkan hasil delineasi ZAE umumnya mempunyai produktitivitas rendah. Produktivitas kedelai hanya 0,98 t/ha, jagung 2,31 t/ha, kacang tanah 1,15 t/ha, dan cengkeh 0,10 t/ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah dalam Syafruddin, 2004). Kondisi ini menggambarkan adanya senjang hasil yang cukup besar antara di tingkat petani dengan di tingkat penelitian dan potensi hasil setiap komoditas, sehingga peluang untuk meningkatkan produktivitas masih cukup tinggi. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian pola pengembangannya agar potensi produksi tanaman dapat dicapai.
Pengkajian pengembangan tanaman pangan dan perbaikan budidaya yang meliputi pemupukan dan pemilihan varietas yang sesuai dengan kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Tengah telah dilakukan. Pengkajian sistem usaha tani padi, jagung, dan kedelai berwawasan agribisnis dapat meningkatkan produksi dan efisiensi uasaha tani. Mamiek et al. dalam Syafruddin (2004) melaporkan bahwa penerapan teknologi tabela dan pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah yang dilakukan di Kabupaten Poso dan Donggala dapat meningkatkan hasil padi 0,48 t/ha dan efisiensi tenaga kerja 17,12%. Penelitian jagung juga memberikan hasil positif. Syafruddin et al. (1999) mengemukakan bahwa penerapan pola tumpang sari jagung kedelai dapat memberikan hasil jagung pipilan 0,656 t/ha dan kedelai 1,53 t/ha dengan penghasilan Rp 1.062.000 /ha/musim tanam. Dengan demikian, produksi meningkat sebesar 85,25% dibandingkan dengan tingkat produksi di tingkat petani.
Untuk tanaman hortikultura, penelitian pengembangan bawang merah memberikan hasil yang nyata. Penggunaan bibit bermutu baik dapat meningkatkan hasil umbi 0.80 t/ha. Sementara itu dengan pemupukan N 120 kg/ha + P2O5 100 kg/ha + K2O 90 kg/ha + pupuk organik 1.200 kg/ha, hasil umbi mencapai 5,41 t/ha dan berbeda sangat nyata dibanding tanpa pemberian pupuk anorganik. Analisis ekonomi terhadap beberapa teknologi budidaya bawang merah yang dilaksanakan di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa teknologi tersebut menguntungkan dengan nilai R/C di atas 1.80. Ketersediaan bahan organik pada derah sentra produksi bawang merah cukup terjamin.
Hasil pengkajian kakao di beberapa sentra pengembangan menunjukkan bahwa pemupukan urea 250 kg/ha dapat meningkatkan hasil biji kakao 0.33 t/ha. Tingginya respon tanaman kakao terhadap pemupukan urea diduga karena sebagian sebagian besar area pertanaman kakao di Sulawesi Tengah mempunyai kandungan nitrogen yang rendah. Permasalahan yang lain dihadapi petani kako adalah tingginya serangan hama penggerek buah kakao (PBK).
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan merupakan suatu alternatif untuk meningkatkan produtivitas lahan. Salah satu adalah diversifikasi tanaman pada area yang dimanfaatkan. Pola diversifikasi yang berkembang di Sulawesi Tengah adalah pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa, pisang, dan pengembalaan ternak. Syafruddin et al. (2004) melaporkan bahwa penanaman kakao di antara tanaman kelapa cukup menguntungkan dengan hasil biji kakao 2 t/ha. Dengan harga jual Rp 2.400 / kg, maka penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 4.800.000 / ha/tahun. Ditambah hasil kopra 2 t/ha/tahun dengan harga jual Rp 7.000 /kg, akan diperoleh penerimaan Rp 1.400.000 / ha/tahun. Dengan demikian, penanaman kakao secara intennsif di antara kelapa dapat meningkatkan penerimaan 2-3 kali lipat dari sistem monokultur.
Hasil penelitian terhadap sapi potong juga menunjukkan hasil yang prospektif. Penggemukan sapi potong dengan pemberian ransum tambahan dapat meningkatkan bobot badan 0,29 – 0,49 kg/hari (Bulo et al. dalam Syafruddin, 2004).
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas bahwa pembangunan ekonomi wilayah berbasis agroekologi di Provinsi Sulawesi Tengah telah berdampak positif bagi produktivitas dan kualitas hasil pertanaman di provinsi tersebut. Dalam perkembangannya teknologi yang digunakan dalam usaha meningkatkan produktivitas pertanaman telah diusahakan dengan baik, namun perlu sedikit variasi guna meningkatkan hasil yang maksimal. Untuk menunjang peningkatan hasil produksi juga diperlukan tambahan pupuk kimia dan pupuk organik secara berimbang agar kualitas lahan dapat terjaga kesuburannya. Dari analisis sektor ekonomi di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah hasilnya adalah sangat positif setelah dilakukan sistem pertanian yang diarahkan pada sistem pertanian berbasis zona agroekologi. Hal tersebut ditunjang dengan terdapatnya sektor-sektor industri yang telah dikembangkan di wilayah tersebut. Sehingga hasil produknya cukup berkualitas untuk pasar lokal maupun pasar luar negeri.


Kesimpulan
            Pembangunan ekonomi wilayah Sulawesi Tengah yang berbasis agroekologi sudah cukup bagus dan dapat digolongkan dalam sistem pertanian yang berkelanjutan, namun pembangunan sector pertanian di Sulawesi Tengah masih dapat ditingkatkan. Dalam upaya pembanguan sektor pertanian yang kuat, berproduktivitas tinggi, efisien, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan perlu dilakukan penetapan komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan dengan memanfaatkan zonasi agroekologi. Dari zonasi komoditas unggulan yang telah dilakukan di wilayah Sulawesi Tengah maka didapat komoditas unggulan yang dapat dikembangkan adalah kakao, cengkeh, kelapa, jambu mete, mangga, kedelai, kacang tanah, jagung, bawang merah, sapi potong, kambing, domba, serat udang dan perikanan.
            Untuk meningkatkan produktivitas dan nilai jual suatu komoditas unggulan, pengembangan komoditas unggulan perlu dilakukan dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kondisi agroekosistem, berkelanjutan serta didukung kebijakan pemerintah. Dukungan hasil penelitian yang masih dibutuhkan adalah peningkatan kualitass hasil melalui perbaikan pascapanen. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh sitem pertanian berbasis agroekologi sangat nyata untuk menunjang produktivitas hasil suatu pertanaman guna meningkatkan perekonomian wilayah Sulawesi Tengah.

Daftar Pustaka

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah (2000) dalam Syafruddin. 2004. Peta Zona Agroekologi, skala 1:250.000 Provinsi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu.

Bhermana & Firmansyah. 1999. ”Zone Agroekologi Kapet Sambun Sebagai Salah Satu Arahan Pembangunan Pertanian Di Kalimantan Tengah”. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Banjarmasin.
Nazam, M, Prisdiminggo dan Awaludin Hippi. 2005. “Kelayakan Usahatani Tanaman Pangan Unggulan dan Arahan Pengembangannya Di Sumbawa Barat NTB”. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Mataram.
Syafruddin, Agustinus N. Kairupan, A. Negara, dan J. Limbongan. 2004. ”Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi Di Sulawesi Tengah”. Jurnal Libang Pertanian, 23 (2).


0 komentar:

Posting Komentar