I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang,
memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri Negara
berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota
besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk
dan urbanisasi. Kaum urban dari kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota
yang belum memiliki fasilitas ruang kota, agar lebih murah.
Perkembangan
masyarakat menyangkut berbagai bidang kehidupan yaitu agama, ekonomi,
infrastruktur, hukum, budaya, politik dan sebagainya. Namun, perkembangan
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan masih membahayakan ketahanan suatu
wilayah. Ini disebabkan oleh suatu tindakan-tindakan yang ditimbulkan oleh
perilaku masyarakat yang menyimpang dari segi hukum maupun agama. Agama
merupakan aspek kehidupan di dalam masyarakat yang sangat penting. Dengan
beragama, seseorang dapat memiliki tuntunan maupun pedoman kea rah kehidupan
yang lebih baik lagi. Namun agama juga tidak dapat menjamin kerukunan umat
selalu terjamin. Di sana-sini masih banyak tindak criminal yang berkedok atas
kepercayaan yang dianut tersebut. Dalam hal ini, toleransi antar umat beragama
atau sikap saling menghormati antar pemeluk agama masih belum berjalan dengan
selaras.
Salah satu satu contonya yaitu yang terjadi di Kota
jember, di sini masih terjadi
permasalahan yang menyangkut tempat peribadatan. Hal semacam ini dapat
mengancam ketahanan wilayah setempat, karena dapat menimbulkan konflik yang
mendalam antar umat beragama tersebut.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan memberikan
suatu contoh kasus yang dapat mengancam ketahanan wilayah yang diakibatkan
perbedaan keyakinan beragama serta memberikan strategi penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang
terdapat dalam latar belakang, dapat dibuat
suatu permasalan sebagai berikut :
1. Apakah
yang dimaksud dengan kerawanan sosial ?
2. Apakah
yang dimaksud dengan ketahanan nasional ?
3. Dampak
apakah yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dalam segi agama ?
4. Bagaimanakah
strategi penanggulangan kerawanan sosial ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dalam pembuatan makalah
ini antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui
tentang pengertian dari kerawaan sosial.
2. Memperoleh
pengetahuan tentang ketahanan nasional.
3. Mengatahui
akibat yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dari segi agama.
4. Mengetahui
cara mencegah atau menanggulangi permasalahan kerawanan sosial.
II. PEMBAHASAN
2.1
Kerawanan Sosial
Kerawanan Sosial ialah suatu keresahan sosial yang
berkepanjangan, yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari
perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok golongan tertentu, dengan
pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat/kelompok
golongan tersebut. Ketidakpuasan ini masih dalam eskalasi aman sehingga hanya
diperlukan tindakan pencegahan. Ketidak puasan pemecahan masalah dari yang
tidak tepat dicegah akan memicu keresahan, demonstrasi/anarkis ataupun
separatisme.
Kerawanan Sosial dapat terbentuk dalam berbagai macam
seperti kerawanan ekonomi, politik, sosial budaya, ideologi, hankam dan hukum.
Bangsa Indonesia sejak tahun 1945, masa orde lama maupun dimasa orde baru,
keduanya memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, sehingga presidenlah yang
berperan. Sejak tahun 1998 keruntuhan Soeharto mengakibatkan terjadinya
reformasi di segala bidang. Reformasi tersebut disertai dengan isu
berkembangnya Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, otonomi daerah dan
lingkungan hidup. Pengertian HAM dan demokratisasi banyak disalah artikan
bangsa Indonesia, sehingga mereka mengekspresikan dirinya secara berlebihan,
dan menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Konflik antar suku,
kelompok agama serta antar perusahaan industri dengan lingkungan masyarakat.
Kondisi sosial budaya bangsa Indonesia saat ini mengalami
stagnasi di bidang nilai-nilai etika sosial dan budaya sehingga menimbulkan
beberapa kasus kerawanan sosial seperti kasus sara di Sampit, Situbondo, Ujung
Pandang, Solo, Kupang dan Waringin. Kondisi ekonomi sejak terjadinya krisis
1997 belum banyak berubah. Berbagai kasus kerawanan sosial yang terjadi dipicu
oleh potensi kesenjangan ekonomi seperti konflik pekerja dengan pengusaha telah
muncul antara lain kasus ganti rugi lahan Kedung Ombo, lahan sejuta hektar,
kasus unjuk rasa pekerja PT. Maspion, PT.Kayu Mas, masyarakat penambang emas di
Kereng Pangi Kalteng dan kasus Sampit telah menimbulkan fluktuasi dolar
terhadap rupiah. Tidak berjalannya roda perekonomian juga dapat menyebabkan
hilangnya modal yang ditanam investor asing.
Hubungan antar umat beragama masih sangat rentan terhadap
konflik, sebab masih terdapat kelompok masyarakat yang mengartikan agama secara
sempit dan juga tingkat pendidikan yang masih sangat rendah sehingga kemampuan
penalaran rendah dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis. Rasa
keadilan kurang terpenuhi sehingga menimbulkan ide separatis yang bercirikan
kedaerahan, yang bertujuan ingin memisahkan diri dari NKRI[1].
2.2 Ketahanan Nasional
1. Ketahanan
Nasional sebagai suatu penggambaran atas
keadaan yang seharusnya dipenuhi. Keadaan atau kondisi ideal demikian
memungkinkan suatu negara memiliki kemampuan mengembangkan kekuatan wilayah sehingga
mampu menghadapi segala macam ancaman dan gangguan bagi kelangsungan hidup masyarakat yang bersangkutan
2. Ketahanan
Nasional sebagai pendekatan/metode/cara menjalankan suatu kegiatan khususnya
pembangunan nasional. Sebagai suatu pendekatan, ketahanan nasional
menggambarkan pendekatan yang integaral. Integral dalam arti pendekatan yang
mencerminkan antara segala aspek/ isi, baik pada saat membangun maupu pemecahan
masalah kehidupan. Dalam hal pemikiran , pendekatn ini menggunakan pemikiran
kesisteman.
3. Jadi
dapat dimaknai bahwa Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari setiap aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan brnegara. Pada
hakikatnya ketahanan nasional adalah
kemampuan dan ketangguhan suatu wilayah
Negara untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bermasyarakat yang sejahtera. Berhasilnya
pembangunan nasional akan meningkatkan
ketahanan nasional. Selanjutnya ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong pembangunan.[2]
2.3 Dampak kerawanan Sosial dari Segi
Agama
Kerawanan sosial bisa
muncul dari berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, seperti bidang ekonomi,
hukum, budaya, hiburan, olahraga maupun bidang agama. Agama seharusnya mampu
menjadi benteng untuk menyatukan perbedaan yang ada maupun mencegah tindakan
yang dapat mengundang timbulnya masalah dalam masyarakat. Dalam makalah ini
akan memberikan contoh kerawanan sosial yang ditimbulkan oleh kerusuhan umat
beragama yang dapat mengancam ketahanan nasional.
Salah
satu contohnya yaitu yang terdapat dalam artikel Berita Nasional yang
menyebutkan terjadi pertikaian yang awalnya bermula dari 2 orang berbeda
keyakinan beragama dan meluas kepada kelompok besar masing-masing agama
tersebut, selengkapnya tersebut dalam artikel di bawah ini[3]:
Kerusuhan
Ambon Sebagai Implikasi Melemahnya Budaya Lokal.
Kerusuhan
Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah mengakibatkan kerugian yang
tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di tempat-tempat lain,
Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama dengan kerugian yang
terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama sekali berbeda dengan yang
terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor pemicunya juga
sangat fundamental, serta meliputi banyak variabel (complicated).
Kerusuhan
di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan
terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan
seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua kelompok masyarakat
berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi
di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang
beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota
Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen
meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang
sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam. Si pendatang beragama Islam
ini selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan
massa Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak
Negeri Kristen dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung
Mardika, yang berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang
melihat massa Batu Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai
tindakan penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua
kelompok massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk
warga Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai
mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya
solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana
dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari
Belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju
Mardika guna memberi membantu.
Pada
waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer ke arah barat
Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa Bali, Jalan Baru,
dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang beragama Kristen,
dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh Orang Kristen. Saat itu,
terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua kelompok masyarakat ini,
dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah rumah penduduk dan 1 (satu)
buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999 itu. Dengan terbakarnya
rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale, serta gereja di Silale,
mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok agama di berbagai sudut
jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang rumah dan tempat ibadah di
berbagai tempat.
Pada tanggal
19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga lima desa Islam di
Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan Morela, mulai
melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen yang berasal dari
Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field Marine
Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6
(enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang
lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa
Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan
warga Buton di petuanan desa Seith.
Tanggal 20
Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan membakar
rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga Desa Hila
Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan Kaitetu yang
beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun warga Buton
disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan
berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa ini
kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan kaki, yang
disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di lokasi-lokasi;
Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian Patah, Desa
Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam perjalanan panjang
aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima warga desa tersebut
terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati beberapa pos dan barak
militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat keamanan setempat,
kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air Besar, Desa Passo.
Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh empat) warga beragama
Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta wanita dan seorang pendeta
laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah gereja, maupun harta benda
lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian dan pembakaran serta
penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa Islam ini, ialah adanya
informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi representasi identitas umat Muslim
di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh Orang Kristen.
Informasi
mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas pemukiman-pemukiman
Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini, mengakibatkan sentimen dan
solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di Kota Ambon dan sekitarnya
tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak terkendali sebagai reaksi
atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah penyerangan dalam bentuk
pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di pemukiman-pemukiman Islam
maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam
kerusuhan antar kelompok masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat
keamanan yang ada, tidak sama sekali berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya,
malahan menurut penilaian kedua kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam
kerusuhan ini, aparat keamanan bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan
puluhan warga sipil yang meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan,
dan seorang aparat anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung
Pandang dan tiba di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di
Benteng.
Kerusuhan
yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, yaitu
di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi). Kerusuhan yang
terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran rumah penduduk dan
tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan Kristen.
Kerusuhan
sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian berlanjut lagi
pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari beberapa Desa Islam
di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama Kristen, mengakibatkan
puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan ratusan rumah penduduk
serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan di Kariu ini berdampak
pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi penyerangan pada
beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan puluhan rumah penduduk
terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan meninggal dunia.
Tanggal 23 -
25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali terjadi di Batu Merah
Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah penduduk Kristen oleh massa
Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung Galunggung serta Dusun Rinjani.
Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka dan meninggal dunia terkena
tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional, serta puluhan rumah
terbakar.
Tanggal 1
Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di Dusun Ahoru dan
Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari kedua kelompok agama
yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan ini, terdapat sejumlah
orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah penduduk terbakar.
Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi
Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga Muslim yang sedang sholat subuh
diserang dan ditembak di dalam mesjid. Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh
beberapa tokoh Islam lainnya dalam rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa
hari ekspose berita dilakukan secara tendensius oleh berbagai media massa
nasional baik elektronik maupun cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas
Islam secara nasional dengan tujuan ber-jihad di Ambon.
Kerusuhan
masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat
sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam
secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di
Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh
pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para pengungsi
beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama
Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan
ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun
yang meninggal.
Disamping
garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan di atas, sebetulnya
terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara berkelompok oleh
massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau diparang)
orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen Fakultas
Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam. Hal yang sama
terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang Kristen.
Saat ini
tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat keamanan, bahkan
telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari warga perkampungan
atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung proses rekonsiliasi yang
terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan hidup bagi
warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya, diperkirakan paling tidak periode
"mengatasi kerusuhan" oleh aparat keamanan ini akan membutuhkan waktu
kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan, sebelum memasuki tahap
"pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial" dalam
kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.
2.4
Strategi Penanggulangan Kerawanan Sosial
Untuk
menuju suasana yang kondusif dalam kehidupan masyarakat harus ada keberanian
dari lembaga penegak hukum untuk bekerja secara independen dan profesional
tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Dari Perkembangan lingkungan
strategis, dapat diantisipasi beberapa peluang antara lain sebagai berikut[4]:
• Kerjasama ASEAN di bidang ekonomi.
• Posisi geografi merupakan peluang untuk menjalin hubungan antar bangsa.
• Jumlah penduduk merupakan asset pembangunan dan sumber kekuatan.
• Kekayaan alam sebagai modal dasar pembangunan.
• Tuntutan kehidupan yang egaliter, transparan, demokratis, perlindungan hukum dan HAM dapat meningkatkan harkat serta martabat bangsa.
Selain peluang, ada beberapa kendala yang dirasakan, yaitu
ancaman yang datang dari luar negeri berupa bentuk tekanan multi dimensi dari
bentuk tekanan politik, ekonomi sampai dengan tekanan militer serta ancaman
yang berasal dari dalam negeri berupa ancaman antara lain kesenjangan sosial
ekonomi, eksplotasi Sumber Daya Alam (SDA) tanpa memperhatikan lingkungan
pluralistik, lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-LSM), ancaman
pemberontakan bersenjata yang bersifat separatisme seperti bahaya laten
komunis. Dari dampak Krisis Multidimensi kondisi sosial masyarakat Indonesia
yang dipengaruhi lingkungan strategis, perlu dianalisis berbagai krisis yang
ada seperti antara lain[5]:
a)
Krisis
Idiologi. Salah satunya adalah kekecewaan rakyat Aceh selama Orde Baru
mengeluarkan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Peme-rintahan Derah, sekaligus
mencabut UU No. 18/1965 yang dipahami masyarakat Aceh sebagai pencabutan Aceh
dari daerah Istimewa. Dalam penyelesaian krisis Aceh tidak dapat mengambil
risiko sekecil apapun terhadap tetap tegaknya NKRI dan berkibarnya Sang Merah
Putih di setiap pelosok tanah air Indonesia.
b)
Krisis
Politik suatu fakta pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie tentang
kebijakan opsi merdeka yang diberikan kepada rakyat Timor-Timur lepas dari
NKRI, yang akhirnya MPR memberikan mosi tidak percaya kepada Presiden BJ.
Habibie. Krisis politik masa pemerintahan Presiden Gus Dur dimana tidak
diakuinya Dekrit Presiden, serta krisis politik di tingkat pusat yang berakibat
jatuh bangunnya suatu pemerintah.
c)
Krisis
Ekonomi. Negara Indonesia merupakan negara maritim, masyarakat miskin umumnya
di pedesaan dan pantai. Perencanaan pem- bangunan sejak Pelita I dan
selanjutnya ditujukan untuk kepentingaan rakyat / semua masyarakat Indonesia,
namun kenyataanya yang lebih maju pesat ternyata masyarakat industri dan
pengusaha, sehingga lahirlah masyarakat pengusaha yang banyak menjadi
konglomerat dan akhirnya menguasai ekonomi Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan
kerawanan sosial.
d) Krisis Sosial Budaya. Bangsa
Indonesia perlu me-renung kembali sejarah budaya bangsa sejak zaman dulu.
Ancaman disintegrasi bangsa disebabkan gagalnya penye-lenggaraan di bidang
pendidik-an non fisik yaitu nilai-nilai Sumpah Pemuda dan motto bangsa Bhineka
Tunggal Ika yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa dan hal ini perlu
peningkatan proses education building, sebab dari dunia pendidikanlah akan
lahir para intelektual dan pemimpin bangsa. Nilai-nilai budaya harus ditanamkan
dan diso-sialisasikan kepada seluruh warga negara Indonesia.
e)
Krisis
Hankam. Pemisahan antara fungsi TNI dan Polri sebagai pengemban Perta-hanan dan
Keamanan menurut Tap MPR No. VI dan VII/MPR/1999, perlu dianalisis kembali,
karena TNI ber-fungsi menahan ancaman dari luar negeri, sedangkan Polri
mengamankan keadaan dalam negeri. Dalam kondisi sekaang, justru yang menjadi
problem maker adalah bangsa Indonesia sendiri, sehingga TNI dan Polri tetap
tidak dapat dipisahkan fungsinya, dan hal itu perlu dianalisis kembali.
f)
Krisis
Hukum. Bergulirnya reformasi, masyarakat me-nuntut supremasi hukum, karena
selama ini masyarakat Indonesia merasa tidak men-dapatkan keadilan baik dari
aparat hukum (keadilan dis-tributif), keadilan diri sendiri (keadilan legal)
dan keadilan dari masyarakat (keadilan komutatif). Krisis di bidang hukum
seperti pencuri lang-sung dibakar / dipukuli oleh massa sampai mati, ini
disebabkan karena aparat hukum terlambat dalam me-ngambil suatu tindakan.
Setelah mencermati uraian mengenai kondisi sosial masyarakat
Indonesia serta menganalisis berbagai krisis, maka konsep upaya penanggulangan
Kerawanan Sosial Secara Terpadu antara lain [6]:
Kebijakan
dan Upaya Penanggulangan
Ø
Tidak
mengambil resiko sekecil apapun yang dapat mengancam NKRI (penye-lesaian
kerawanan sosial yang berkembang menjadi krisis).
Ø
Penyelesaian
kerawanan sosial dan krisis dengan tegas & proposional, semata-mata hanya
untuk kepenting-an nasional, bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD ’45.
Ø
Untuk
menyelesaikan kera-wanan sosial dan krisis yang bersifat nasional, keutuhan
wilayah NKRI menjadi tujuan utama, tanpa meng-ambil resiko sekecil apapun.
Ø
Untuk
menyelesaikan kera-wanan sosial dan krisis nasional, tetap berkibarnya lambang
negara Bendera Merah Putih di seluruh pelosok tanah air menjadi tumpuan utama.
Ø
Dalam
penyelesaian kerawanan sosial yang tidak mungkin penyelesaiannya secara normal,
diperlukan keterpaduan dari semua aparat pemerintah dan masyarakat secara
bersama-sama menghadapi krisis tersebut.
Ø
Strategi
penanggulangan kerawanan sosial disesuaikan dengan eskalasi perkem-bangannya,
misalnya kondisi aman, kondisi rawan, kondisi gawat darurat dan kondisi
rehabilitasi.
Ø
Upaya
penanggulangan kerawanan sosial. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan,
yaitu :Unsur Pelaksana (Dephan,TNI dan jajarannya, Polri dan jajarannya), unsur
Pemda (Mawil Hansip, Tibum, Pemadam Kebakaran), Unsur Kejaksaan/Kejari, dan
Unsur Masyarakat.
Sasaran
Penanggulangan
ü
Semua
bentuk kerawanan sosial, bersifat multi dimensi yang dapat menimbulkan Ancaman,
Gangguan, Hambatan, dan Tantangan (AGHT) terhadap stabilitas keamanan daerah
atau wilayah NKRI.
ü
Kerawanan
sosial yang ditimbulkan oleh bencana alam, akibat perang dan pengungsian akibat
konflik.
ü
Metoda
Penanggulangan Preemtif, Preventif, Represif, Operasi, penindakan terhadap
separatis Bersenjata.
ü
Mekanisme
Penanggulangan.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang di dapat
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kerawanan
Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh
proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok
golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak
memuaskan masyarakat/kelompok golongan tersebut.
2.
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari setiap aspek kehidupan masyarakat. Pada hakikatnya ketahanan
nasional adalah kemampuan dan
ketangguhan suatu wilayah untuk dapat menjamin
kelangsungan hidup bermasyarakat
yang sejahtera.
3.
Dampak yang ditimbulkan dari aspek agama
dapat mengancam ketahanan suatu wilayah tertentu. Ini akibat perpecahan yang
terjadi akibat kurang sikap saling menghargai antar umat beragama.
4.
Upaya
penanggulangan kerawanan sosial. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan,
yaitu :Unsur Pelaksana (Dephan,TNI dan jajarannya, Polri dan jajarannya), unsur
Pemda (Mawil Hansip, Tibum, Pemadam Kebakaran), Unsur Kejaksaan/Kejari, dan
Unsur Masyarakat. Dalam
konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan diri dan
berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat yang
hidup dan berkembang, mengingat realitas kebhinekaan bangsa dalam berbagai
aspek kehidupannya. Memenuhi keinginan kelompok tertentu saja dan mengabaikan
atau tanpa mempertimbangkan kondisi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, hanya
akan menciptakan akumulasi masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Dengan
demikian, perlu ada konsistensi sikap dan perilaku aparat pemerintah dalam
menterjemahkan makna filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam berbagai kebijakan
pembangunan yang adil dan jujur.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kerawanan sosial dan potensi konflik
muncul karena dipicu ketidakpuasan masyarakat atas kondisi kehidupannya. Karena
itu, prinsip kesetaraan dan keadilan wajib dijunjung untuk menyelesaikan
konflik di seluruh Tanah Air.
"Slogan bangsa Bhinneka Tunggal
Ika mestinya dijadikan sebagai spirit dalam menata kembali pola hubungan
antarindividu dan antarkomunitas yang memiliki perbedaan identitas sosial
budaya dengan tujuan sebagai proses saling belajar kebudayaan," kata
Muhammad Marzuki dari Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik
Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah, pada lokakarya "Identifikasi
Kerawanan Sosial dan Potensi Konflik" di Gadok, Bogor, Senin (2/7).
Pada lokakarya yang diselenggarakan
oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini, Muhammad Marzuki
mencontohkan, kerusuhan dengan kekerasan yang terjadi di Poso, Morowali,
Banggai Kepulauan, Maranata-Sidondo, Dolo, dan Kota Palu merupakan akibat atau
produk ketidakpuasan atas kehidupan masyarakat sebagai akibat dari situasi
sosial, ekonomi, dan budaya yang mereka hadapi.
Otonomi daerah merupakan jawaban
terhadap akumulasi keterpurukan dan kekecewaan di zaman Orde Baru, yang
merupakan sebuah kebijakan politik pemerintahan yang sangat drastis. Posisi
pemerintah daerah jauh lebih kuat daripada masa pemerintahan sebelumnya meski
tujuan sesungguhnya adalah untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan kepada
segenap masyarakat yang ada di daerah.
Maka dari itu dalam makalah ini akan
membahas salah satu contoh kerusuhan sosial dari segi agama pada daerah lokal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam
latar belakang, dapat dibuat suatu
permasalan sebagai berikut :
1. Apakah
yang dimaksud dengan kerawanan sosial ?
2. Apakah
yang dimaksud dengan ketahanan wilayahl ?
3. Dampak
apakah yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dalam segi agama ?
3.2 Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dalam pembuatan makalah
ini antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui
tentang pengertian dari kerawaan sosial.
2. Memperoleh
pengetahuan tentang ketahanan wilayah.
3. Mengatahui
akibat yang ditimbulkan oleh kerawanan sosial dari segi agama.
IV. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kerawanan Sosial
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang penduduknya berjumlah sekitar
220.000.000 orang, 500 macam etnis, 17.508 kepulauan dan luas wilayah 5.800.000
km2 serta letaknya yang strategis diantara negara di dunia,
adalah rawan sosial sehingga
perlu dicermati kondisi
sosial masyarakat Indonesia yang dipengaruhi lingkungan yang strategis,
menganalisis berbagai krisis seperti krisis ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, hankam dan hukum, serta konsep upaya penanggulangan kerawanan sosial
secara terpadu termasuk strategi penanggulangannya dalam rangka mendukung
Pertahanan Nasional.
Kerawanan
Sosial ialah suatu keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh
proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu
masyarakat/kelompok golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian
masalah yang tidak memuaskan masyarakat/kelompok golongan tersebut.
Ketidakpuasan ini masih dalam eskalasi aman sehingga hanya diperlukan tindakan
pencegahan. Ketidakpuasan pemecahan masalah dari yang tidak tepat dicegah akan
memicu keresahan, demonstrasi/anarkis ataupun separatisme.
Kerawanan Sosial dapat terbentuk
dalam berbagai macam seperti kerawanan ekonomi, politik, sosial budaya,
ideologi, hankam dan hukum.
Kondisi
sosial Bangsa Indonesia sejak tahun 1945, masa Orde lama maupun dimasa Orde Baru
keduanya memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, sehingga presidenlah yang
berperan. Sejak tahun 1998 keruntuhan Soeharto mengakibatkan terjadinya
reformasi di segala bidang. Reformasi tersebut disertai dengan isu
berkembangnya Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, otonomi daerah dan
lingkungan hidup. Pengertian HAM dan demokratisasi banyak disalah-artikan
bangsa Indonesia, sehingga mereka mengekspresikan dirinya secara berlebihan,
dan menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Konflik antar suku,
kelompok agama serta antar perusahaan industri dengan lingkungan masyarakat.
Dalam reformasi di segala bidang, masyarakat telah banyak yang menyimpang dari
makna kehidupan Pancasila. Sebagian kelompok masyarakat maupun kelompok politik
masih mengusulkan Piagam Jakarta yang berisi “7 kata” untuk dimasukan kembali
dalam pasal UUD 1945. Jadi ideologi Pancasila tetap mendapat tantangan dan
menjadi sumber kerawanan sosial di masa mendatang. Kondisi politik saat ini
memberikan peluang dan kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga mengesankan ajang
demokrasi telah terbuka lebar. Permasalah-annya di sini adalah belum
terciptanya dengan baik suatu mekanisme budaya demokrasi, dalam arti kata
pemerintah belum menyiapkan perangkat kebijakan maupun perangkat hukum yang
mengatur tata cara kehidupan berdemokrasi, sehingga timbul kesenjangan politik.
Kondisi sosial budaya bangsa
Indonesia saat ini mengalami stagnasi di bidang nilai-nilai etika sosial dan
budaya sehingga menimbulkan beberapa kasus kerawanan sosial seperti kasus sara
di Sampit, Situbondo, Ujung Pandang, Solo, Kupang dan Waringin.
Kondisi
ekonomi sejak terjadinya krisis 1997 belum banyak berubah. Berbagai kasus
kerawanan sosial yang terjadi dipicu oleh potensi kesenjangan ekonomi seperti
konflik pekerja dengan pengusaha telah muncul antara lain kasus ganti rugi
lahan Kedung Ombo, lahan sejuta hektar, kasus unjuk rasa pekerja PT. Maspion,
PT.Kayu Mas, masyarakat penambang emas di Kereng Pangi Kalteng dan kasus Sampit
telah menimbulkan fluktuasi dolar terhadap rupiah. Tidak berjalannya roda perekonomian
juga dapat menyebabkan hilangnya modal yang ditanam investor asing.
Kondisi
Hankam. Ancaman kehidupan negara dan bangsa Indonesia berasal dari dalam
negeri, seperti subversi dan pemberon-takan baik mental dan fisik tubuh
masyarakat Indonesia. Ancaman dari luar negeri, seperti: infiltrasi dan
subversi mental, fisik serta intervensi dari kekuatan imperalis dan kolonialis
dalam segala bentuk dan manifestasinya (Ancaman GAM, OPM, konflik antar suku
dan Organisasi Teroris Internasional).
Kondisi Hukum. Belum meme-nuhi rasa
keadilan masyarakat. Sebagai contoh kasus KKN secara pembuktian memang sulit
dan belum ada pembuktian se-cara terbalik (seseorang yang dituduh korupsi harus
membuktikan asal usul dari seluruh asset harta bendanya yang diperoleh). Kerawanan
sosial dapat pula timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman masyarakat tentang
isu yang dihembuskan pihak Barat mengenai demokratisasi, HAM dan lingkungan
hidup. Masalah lain yang mempengaruhi penegakan hukum adalah intervensi pihak
lain, yaitu kepentingan politik pemerintah dan kesadaran hukum masyarakat masih
rendah.
Lingkungan Strategik yang mempengaruhi baik dari dalam
maupun luar negeri, perlu dicermati dan dianalisis sebagai sarana untuk
mengetahui stra-tegi penanggulangannya secara terpadu. Masalah HAM menjadi isu
global karena lebih banyak dilontarkan oleh negara Barat. Kemajuan industri
Iptek tanpa dilandasi keinginan kuat untuk memelihara kelestarian ling-kungan
hidup dapat meng-hasilkan ekses pencemaran yang lebih berat dan dikhawatirkan akan
merusak ekosistem ter-masuk di dalamnya kelestarian eksistensi makhluk bumi.
2.2 Ketahanan Wilayah
2.2.1. Pengertian Ketahanan Wilayah
Ketahanan
wilayah adalah suatu kondisi dinamis suatu wilayah yang terdiri atas
ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan sosial
dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan baik yang dating dari dalam maupun luar, secara langsung maupun tidak
langsung yang mengancam dan membahayagan integritas, identitas, kelangsungan
hidup wilayah tertentu serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan
wilayah. Ketahanan wilayah diartikan sebagai kondisi yang harus diwujudkan agar
proses pencapaian tujuan wilayah tertentu dapat berjalan dengan sukses. Oleh
karena itu, diperlukan suatu konsepsi ketahanan nasional yang sesuai dengan
karakteristik bangsa Indonesia.[7]
2.2.2.
Konsepsi Ketahanan Wilayah
Konsepsi
pengembangan kekuatan wilayah melalui pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh
aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan
wawasan nusantara dengan kata lain konsepsi ketahanan wilayah merupakan pedoman
untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan suatu wilayah yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan wilayah dengan pendekatan kesejahteraan dan
keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan suatu wilayah dalam
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besarnya
kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah, dan jasmaniah. Sedangkan keamanan
adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasional terhadap ancaman dari
luar maupun dari dalam.
Ketahanan
pada aspek politik diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan politik bangsa
Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan suatu wilayah dalam
menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan
yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung
untuk menjamin kelangsungan kehidupan warga masyarakat di wilayah tersebut.
Ketahanan
sosial adalah kondisi dinamis suatu wilayah yang meliputi segenap kehidupan
masyarakat yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan wilayah dalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun
dari luar, untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup
masyarakat dalam wilayah tersebut serta perjuangan mencapai tujuan Republik Indonesia
dapat dijelaskan seperti dibawah ini :[8]
a. Ketangguhan
Adalah
kekuatan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan, kuat menderita
atau dapat menanggulangi beban yang dipikulnya.
b. Keuletan
Adalah
usaha secara giat dengan kemampuan yang keras dalam menggunakan kemampuan
tersebut diatas untuk mencapai tujuan.
c. Identitas
Yaitu
ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara keseluruhan. Negara dilihat
dalam pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah
dengan penduduk, sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran
internasionalnya.
d. Integritas
Yaitu
kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsur sosial
maupun alamiah, baik bersifat potensional maupun fungsional.
e. Ancaman
Yang
dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat mengubah atau merombak
kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan secara konseptual, kriminal dan politis.
f. Hambatan dan gangguan
Adalah
hal atau usaha yang berasal dari luar dan dari diri sendiri yang bersifat dan
bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional.
2.2.3. Pokok-Pokok
Pikiran Dasar Ketahanan Wilayah
Keuletan
dan ketangguhan untuk mengembangkan ketahanan wilayah yang disebut ketahanan
wilayah itu didasari pada pokok-pokok pikiran berikut:
a). Manusia Berbudaya.
Sebagai salah
satu makhluk Tuhan, manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna karena
memiliki naluri, kemampuan berpikir, akal dan berbagai keterampilan. Manusia
senantiasa berjuang mempertahankan eksistensi, pertumbuhan dan kelangsungan
hidupnya serta berupaya memenuhi kebutuhan materil maupun spiritualnya. Karena
itu manusia berbudaya akan selalu mengadakan hubungan;
a. Dengan Tuhan,
disebut Agama.
b. Dengan cita-cita,
disebut Ideologi.
c. Dengan kekuatan/kekuasaan,
disebut Politik.
d. Dengan pemenuhan
kebutuhan, disebut Ekonomi.
e. Dengan manusia,
disebut Sosial.
f. Dengan pemanfaatan
alam, disebut Ilmu Pengetahuan Teknologi, dan
g. Dengan rasa aman,
disebut Pertahanan dan Keamanan.
b). Tujuan, Falsafah dan Ideologi.
Tujuan
menjadi pokok pikiran dalam ketahanan nasional karena suatu organisasi; apa pun
bentuknya, akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah internal dan eksternal
dalam proses mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Demikian pula halnya
dengan suatu wilayah dalam mencapai tujuannya. Karena itu, perlu ada kesiapan
untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.
Falsafah
dan ideologi juga menjadi pokok pikiran. Hal ini tampak dari makna falsafah
dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut[9]:
a. Alinea pertama menyebutkan: “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Maknanya: Kemerdekaan adalah hak asasi
manusia.
b. Alinea kedua menyebutkan: “… dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”
Maknanya: adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
c. Alinea ketiga menyebutkan: “Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
Kemerdekaannya.” Maknanya: bila Negara ingin mencapai cita-cita maka kehidupan
berbangsa dan bernegara harus mendapat ridlo Allah yang merupakan dorongan
spiritual.
d. Alinea keempat menyebutkan: “Kemerdekaan dari
pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan
social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan: Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh bagi seluruh rakyat Indonesia.” Alinea ini mempertegas cita-cita yang
harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
2.3 Dampak Kerawanan Sosial Terhadap
Ketahanan Wilayah Dilihat dari Segi Agama
Kerawanan sosial dapat
terjadi akibat faktor-faktor agama seperti pendirian rumah ibadah, penyiaran
agama, penodaan agama, peringatan hari-hari besar keagamaan, perkawinan antar
pemeluk beda agama serta bantuan keagamaan dari pihak asing. Dalam usaha
mengawasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara, dan mengembangkan
kehidupan masyarakat yang rukun, saling pengertian, saling diperlukan
pengaturan yang lebih seksama dan terarah melalui perundang-undangan.
Sebagai contoh,
pemberitaan tentang Universitas Jember, universitas negeri paling timur pulau
Jawa, hanyalah konflik perebutan kekuasaan jabatan Rektor masa bakti 2003
-2007. Wajar jika terjadi demonstrasi pro dan kontra dengan isu
demokratisasi terhadap Rektor terpilih Dr. Ir Tarcius Sutikto, namun
menjadi 'tidak wajar" ketika ada upaya membungkus konflik kepentingan ke
dalam nuansa konflik agama. Mencuatnya isu agama tersebut diawali dari
penolakan sejumlah kelompok aksi yang menolak salah satu calon rektor,
Dr. Ir. Tarcius Sutikto, alasannya Sutikto bukanlah penganut Muslim. Akan dapat
dimaklumi, jika sentimen agama tersebut dilontarkan oleh mahasiswa yang
notabene adalah insan yang masih belajar menjadi manusia intelek. Namun menjadi
isu yang krusial ketika hal itu dilontarkan oleh seorang Guru Besar yang
seharusnya menghargai pluralitas.
Harus diakui sejarah
'berebut kekuasaan' antar elite di Unej bukan barang baru. Hanya saja kasus itu
baru mencuat setelah korban berjatuhan di pihak konstituen terkecil yaitu
mahasiswa, disamping kekerasan terhadap wartawan. Selama delapan tahun turut
dalam gerbong civitas akademika Unej, diamati dalam dua kubu elite di
jajaran petinggi Unej terbagi dalam kubu "merah" dan
"hijau". Jika kedua kubu itu diperluas akan terlihat sebagai dikotomi
antara Nasionalis (merah) dan Islam (hijau). Dan bendera itu akan selalu
'dikibarkan' bila perebutan jabatan dari tingkat Senat Mahasiswa hingga
Rektorat di mulai.
Disamping
menghadapi 'tugas' mahasiwa yang akan dikerjakan sejujurnya tugas Rektor Unej
Dr. Ir Tarcius Sutikto menjadi lebih berat karena faktor agama yang
diyakininya di tengah mayoritas masyarkat muslim. Dalam konteks perbedaan ini
agaknya rektor baru Unej harus mengedepankan dialog dan mengedepankan
aktifitas partisipatoris kepada mahasiswa, tokoh agama dan elite di luar
'kubu'nya, tanpa harus menutupi adanya perbedaan tersebut.[10]
V.
PENUTUP
3.2 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang di dapat
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kerawanan Sosial ialah suatu
keresahan sosial yang berkepanjangan, yang diakibatkan oleh proses konflik yang
ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat/kelompok golongan
tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
masyarakat/kelompok golongan tersebut.
2. Ketahanan
wilayah adalah kondisi dinamis yang
merupakan integrasi dari setiap aspek
kehidupan masyarakat. Pada hakikatnya
ketahanan nasional adalah kemampuan dan
ketangguhan suatu wilayah untuk dapat menjamin
kelangsungan hidup bermasyarakat
yang sejahtera.
3. Dampak
yang ditimbulkan dari aspek agama dapat mengancam ketahanan suatu wilayah
tertentu. Ini akibat perpecahan yang terjadi akibat kurang sikap saling
menghargai antar umat beragama.
[1] Nawawi, Ahmad. ”Ketahanan Nasional dalam
Kerawanan Sosial.”
http:/www.blogspot.com/2008/04/ketahanan-wilayah-dalam-kerawanan-sosial.html
(diakses tanggal 25 Februari 2012)
[2] Nawawi, Ahmad. ”Ketahanan Nasional dalam
Kerawanan Sosial.”
http:/www.blogspot.com/2008/04/ketahanan-wilayah-dalam-kerawanan-sosial.html
(diakses tanggal 25 Februari 2012)
[3] Anonim.2008.” Awas, Isu Sara
Goyang Jember!”. http://www.Berita Jember. Google.com (diakses
pada tanggal 25 Februari 2012)
[4] Balitbang Kementrian Pertahanan RI. 2010.
“Kerawanan Sosial Dan Strategi
Penanggulangannya.”http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/kerawanan-sosial-dan-strategi-penanggulangannya
(diakses tanggal 25 Februari 2012)
[5] Balitbang Kementrian Pertahanan RI. 2010.
“Kerawanan Sosial Dan Strategi
Penanggulangannya.”http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/kerawanan-sosial-dan-strategi-penanggulangannya
(diakses tanggal 25 Februari 2012)
[6] Saifudin, Syarif.2007.”Strategi Penggulangan
Kerawanan Sosial”. http:/www.google.com (diakses tanggal 26 Februari 2012)
[7] Junaidi, Wawan. “Makalah Tentang Ketahanan
Sosial.” http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/11/makalah-tentang-ketahanan-sosial.html
(diakses tanggal 17 Februari 2012)
[8] Balitbang Kementrian Pertahanan RI. “Kerawanan
Sosial Dan Strategi Penanggulangannya.”
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/kerawanan-sosial-dan-strategi-penanggulangannya
(diakses tanggal 17 Februari 2012)
[9] Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan. 2003.
“Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kerukunan Umat Beragama
Tahun 2003.” http://www.fe_unej.tripod.com/warta.htm (diakses tanggal 17
Februari 2012) Jakarta: Tim Penyusun Departemen Agama Republik Indonesia.
[10] Ferdi, Gamal. 2003. “Isu Agama ditengah
Pemilihan Rektor.” Jember: Warta Kampus
0 komentar:
Posting Komentar